Rumah Restorative Justice Sudah Ada di 9 Provinsi, Kejagung Berharap Tiap Perkara Bisa Diselesaikan Cepat dan Biaya Ringan

JAKARTA - Kejaksaan Agung (kejagung) membentuk Rumah Restorative Justice di seluruh kejaksaan tinggi Indonesia sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Fadil Zumhana mengatakan, penyelesaian perkara dengan prinsip keadilan restoratif memperoleh respons positif dari masyarakat. Sehingga perlu dilembagakan oleh kejaksaan dengan membentuk Rumah Restorative Justice.

“Harapannya terwujudnya kepastian hukum yang lebih mengedepankan keadilan yang tidak hanya bagi tersangka, korban, dan keluarganya, tetapi juga keadilan menyentuh masyarakat dengan menghindari adanya stigma negatif," kata Fadil dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Antara, Minggu, 20 Maret.

Tahap awal Rumah Restorative Justice telah terbentuk di sembilan provinsi dan diresmikan oleh Jaksa Agung, Sanitiar Burhanudian, Rabu, 16 Maret lalu.

Kesembilan Rumah Restorative Justice tersebut, yakni Kejati Sumatera Utara, Kejati Aceh, Kejati Sulawesi Selatan, Kejati Sulawesi Barat, Kejati Jawa Barat, Kejati Jawa Timur, Kejati Jawa Tengah, Kejati Kepulauan Riau, dan Kejati Banten.

Prinsip penyelesaian permasalahan dengan perdamaian dan musyawarah, kata Fadil, telah diterapkan oleh kejaksaan dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang mengedepankan perdamaian dan melakukan musyawarah antara pihak tersangka dan keluarga tersangka dengan pihak korban dan keluarga korban, yang disaksikan oleh tokoh masyarakat setempat.

Terpulihkannya kedamaian dan harmoni dalam masyarakat, lanjut dia, sesuai dengan keseimbangan kosmis yang merupakan nilai luhur bangsa Indonesia, dan meningkatkan kepekaan masyarakat beserta tokoh masyarakat baik tokoh agama, atau tokoh adat, dalam menjaga kedamaian dan harmoni di lingkungannya.

Ia berharap ke depannya setiap kejaksaan negeri di seluruh Indonesia memiliki Rumah Restorative Justice sehingga segala permasalahan dapat selesai dengan upaya-upaya perdamaian para pihak, sehingga resistensi tidak terjadi serta kedamaian dan keharmonisa tetap terjadi di tengah masyarakat.

Menurut dia, penyelesaian dengan mengedepankan kearifan lokal (local genius) adalah adaptasi dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, gotong royong, dan nilai keadilan.

"Muruah Rumah Restorative Justice ada di nilai-nilai luhur bangsa sehingga dalam pelaksanaannya akan mudah beradaptasi dengan menerapkan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat," terangnya.

Ia menegaskan bahwa hal ini sesuai dengan harapan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menjadikan Rumah Restorative Justice. Bukan hanya sebagai tempat menyelesaikan berbagai permasalahan di tengah masyarakat, melainkan juga sebagai tempat untuk urun rembuk serta melaksanakan program pemerintah dan masyarakat sehingga semua dapat memanfaatkannya sebagaimana fungsi balai desa maupun bale banjar.

Maka, lanjut Fadil, dengan dibentuknya Rumah Restorative Justice diharapkan para tokoh masyarakat, baik tokoh agama maupun tokoh adat, dapat lebih berperan aktif menjaga kedamaian dan keseimbangan kosmis di daerah masing-masing. Dengan demikian, harmoni dalam masyarakat akan terpelihara sesuai dengan nilai luhur yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Selain Rumah Restorative Justice, Kejaksaan Agung juga telah membentuk Satgas Reaksi Cepat Restorative Justice dengan nomor hotline RJ 0813-9000-2207. Tujuannya adalah memberikan masukan ke pimpinan kejaksaan terhadap perkara-perkara yang layak mendapat restorative justice tetapi tidak dilaksanakan di daerah, mencegah penyimpangan dan penyalahgunaan pelaksanaan restorative justice di daerah.

"Selain itu, membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun guna pelaksanaan restorative justice yang lebih baik," ujarnya.