Kebencian Mendidih Stephen King pada The Shining
JAKARTA - Stephen King adalah salah satu legenda sastra kontemporer terbesar abad ini. Ia tak hanya produktif. Buku-bukunya, mulai dari Carrie, IT, Pet Semetary, hingga The Shining membawa pengaruh besar dalam karya novel bergenre horor hingga hari ini. Judul terakhir bahkan tumbuh jadi ikon budaya pop. Adaptasinya ke medium film sukses bukan main. Di lain sisi, The Shining karya Stanley Kubrick adalah hal yang paling ia benci di dunia ini.
Kubrick menciptakan pengaruh di dunia ketika mengadaptasi karya King nan legendaris, The Shining pada tahun 1980. Tak ada yang meragukan kebesaran karya Kubrick. Di tangan Kubrick, The Shining tumbuh menjadi kultur pop yang tetap kokoh hingga hari ini, sekitar 40 tahun sejak dirilis.
Penampilan tak tertandingi Jack Nicholson sebagai Jack Torrance, keindahan dialog sang koki bijaksana, Dick Halloran yang diperankan Scatman Crothers, REDЯUM, kamar 237, karpet hexagonal, hingga si kembar dan deretan makhluk pemakan energi lain di Hotel Overlook. The Shining adalah pengalaman intens yang terus menerus menggelayuti memori tontonan horor para pecinta film.
Namun, kebesaran itu sampah bagi King. Menurut penulis yang hari ini genap berusia 73 tahun, Kubrick telah mengkhianati karya tulisnya. King mengakui, Kubrick, seperti biasanya sangat unggul dalam estetika. Namun, Kubrick dianggap secara lancang melucuti berbagai tujuan utama yang ingin King sampaikan lewat novel rilisan 1977 itu.
"Kubrick tahu apa yang ingin dia lakukan dengan cerita itu. Dia menyewa novelis Diane Johnson untuk menulis naskah skenario berdasarkan apa yang ingin dia tekankan. Lalu, dia (Kubrick) merapikannya sendiri. Saya benar-benar kecewa ... Film itu telah dilucuti dari tujuan utamanya, yaitu untuk menceritakan sebuah kisah," tutur King kepada Paris Review.
Dalam wawancara lain bersama BBC tahun 2013, King sejatinya sempat menyampaikan ketidakpuasannya pada pendekatan dingin yang dilakukan Kubrick dalam The Shining. Menurut King, Kubrick membuat The Shining terlalu sulit. Padahal, The Shining bagi King adalah sebuah karya yang ditujukan untuk setiap orang.
"Saya bukan orang yang dingin. Saya berpikir tentang satu hal yang berhubungan dengan banyak orang dalam buku ini. Saya bahkan ingin Anda (pembaca) menjadi bagian dari ini (The Shining)," tutur King.
Setidaknya ada dua keputusan Kubrick yang sangat mengganggu King dalam eksekusi film The Shining. Pertama adalah bagaimana Kubrick memulai cerita dalam film. Menurut King, Kubrick lalai menyampaikan kepada penonton tentang latar belakang Jack Torrance, tokoh utama yang diperankan aktor watak, Jack Nicholson.
Hal tersebut sejatinya amat penting bagi King. Menggambarkan kegilaan Jack tanpa memberi latar belakang tentangnya adalah hal yang amat tak etis bagi King. Menurut King, sisi tragis novel The Shining justru dapat dibangun lewat pendalaman terhadap karakter-karakter dalam cerita.
"Jack Torrance adalah orang yang gila sejak awal. Kubrick nampaknya tak mengetahui itu. Bayangkan, bagaimana mungkin sebuah tragedi terbangun hanya dengan Jack yang muncul dalam sebuah wawancara kerja dan tiba-tiba menjadi gila," kata King.
Keputusan lain yang amat mengecewakan bagi King adalah bagaimana Kubrick mengakhiri cerita dalam film. Dalam novel, Jack sempat melepaskan diri dari 'kesurupan' yang membuatnya gila untuk memperingatkan Danny dan Wendy Torrance agar melarikan diri dari Hotel Overlook. Setelah peringatan itu, Jack mati terkena ledakan boiler hotel yang rusak.
Namun, dalam film, Jack mati membeku setelah tak berhasil mengejar Danny yang meloloskan diri dari labirin pagar tanaman. Hal ini amat mengecewakan bagi King. Menurut King, Kubrick secara arogan menghilangkan unsur dramatis ketika sisi manusia Jack --yang dilanda kegilaan-- berupaya menyelamatkan anak dan istrinya.
King adalah raja
Melansir Biography, Stephen King lahir di Portland, Maine. King sempat bekerja sebagai guru, selepas kelulusannya dari University of Maine. Sepanjang pengabdian itu King juga mengasah kemampuan serta tekadnya sebagai penulis. King mantap menemukan jati diri sebagai penulis horor ketika merilis Carrie yang sukses besar pada 1973.
Buku horor pertamanya itu dirilis dengan nama alias Richard Bachman. Sejak itu karier King terus menanjak. Setelah Carrie, King terus menerbitkan novel populer, termasuk Salem's Lot (1975), The Shinning (1977), Firestarter (1980), Cujo (1981), hingga IT (1986). Selain Carrie, ada sejumlah judul novel yang juga ditulis King sebagai Bachman. Sebut saja, Rage (1977) The Long Walk (1979), Roadwork (1981), dan Running Man (1982).
King adalah orang gila yang terus memproduksi buku. Bahkan hal itu pula yang membuat King menciptakan Richard Bachman sebagai monikernya. King khawatir publik tak akan menerima lebih dari satu karya seorang penulis yang dirilis dalam satu tahun. Ide menciptakan moniker itu muncul ketika melihat novel karya Richard Stark --sebenarnya ditulis Donald Westlake-- di mejanya. Sementara, nama Bachman terilhami dari grup musik pelantun You Ain't Seen Nothin 'Yet, Bachman Turner Overdrive.
Ia tak hanya produktif. King adalah raja. Karyanya selalu menarik. Beberapa bahkan mengundang diskursus pelik. Tradisi unik bagi sebuah novel horor. Lebih dari segalanya, karya King selalu sukses di pasaran. Daya tarik pasar yang membuat King legendaris. King bahkan disebut-sebut sebagai novelis terlaris di New York Times.
Melansir New York Times, King telah berhasil menjual lebih dari 350 juta eksemplar --saat tulisan itu dibuat pada September 2002-- di seluruh dunia. Bukan cuma perkara angka. Pengaruh besar King terhadap seni kontemporer dilegitimasi oleh banyaknya judul buku yang diadaptasi ke medium film, termasuk The Shinning yang agung namun amat King benci.
Selain The Shinning, Cujo dan Firestarter jadi adaptasi ikonik novel King lainnya. Dua karya itu diadaptasi ke layar lebar pada 1983 dan 1984. Masing-masing judul kemudian diadaptasi menjadi miniseri pada 1990. Selepas itu, adaptasi Misery mengikuti kesuksesan banyak judul terdahulu. Dibintangi Kathy Bates dan James Caan, Misery sukses secara kritis dan komersial. Bates bahkan memenangi Oscar untuk penampilannya sebagai Annie Wilkes yang psikotik.
Empat tahun berselang, sutradara, Frank Darabont membeli hak untuk mengadaptasi novel Rita Hayworth and Shawshank Redemption (1982). Adaptasi itu jadi kesuksesan besar King lainnya. Dilayarkan dengan judul The Shawshank Redemption, Darabont dan seluruh awak meraih sejumlah nominasi bergengsi dalam Oscar 1995, termasuk Best Picture dan Best Writing, serta Screenplay Based on Material Previously Produced or Published.
Film yang dibintangi Tim Robbins dan Morgan Freeman bahkan menjadi salah satu film terbaik sepanjang masa. Lihat saja daftar 250 film IMDB. Shawshank Redemption masih menempati posisi puncak sejak dirilis pada 1994.
Baca juga:
King terus berkreasi dan terlibat dalam berbagai proyek provokatif. Ia telah bekerja langsung di televisi. King menulis untuk serial, seperti Kingdom Hospital dan Under the Dome. Judul terakhir dibuat berdasar novel rilisan 2009 miliknya. Pada 2011, King menerbitkan 11/22/63, sebuah novel yang bercerita tentang perjalanan waktu sebagai bagian dari upaya menghentikan pembunuhan Presiden John F. Kennedy.
King juga menulis Joyland (2013), sebuah thriller bergaya fiksi-pulp yang membawa pembaca dalam perjalanan mengungkap siapa di balik pembunuhan yang belum terpecahkan. Setelahnya, King mengejutkan penonton dengan merilis film Doctor Sleep (2013), sekuel The Shining yang disutradarai Mike Flanagan, yang akhirnya mampu mengobati luka King pada Kubrick dan segala representasi eksperimentalnya.