Eksklusif, Alphonzus Widjaja, Pusat Belanja Harus Jadi Social Connection Hub
Sejatinya pusat belanja sifat dasarnya adalah offline atau luring. Ini bertolak belakang dengan market place yang sifat dasarnya memang daring. Karena itu kata Alphonzus Widjaja, Ketua Umum APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia) pihaknya tak khawatir terjadi pesaing antara pusat belanja dan market place, sebab pasar keduanya berbeda. Pusat belanja harus menjadi social connection hub alias pusat interaksi sosial bagi masyarakat.
***
Alphonzus sama sekali tak gentar dengan maraknya market place beberapa tahun belakangan ini. Bagi dia pusat belanja tidak head to head bersaing dengan market place. “Mal atau pusat belanja itu DNA-nya offline. Kalau market place memang DNA-nya online. Begitu banyak hal yang tak bisa dijual secara online. Kalau dipaksakan esensinya jadi hilang. Inilah selling point yang harus dioptimalkan oleh pengelola pusat belanja,” tandasnya.
Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat saat ini. Mereka membutuhkan tempat untuk berkumpul secara offline. Apalagi setelah sekian lama dibatasi karena pandemi COVID-19. Kebutuhan untuk bertemu, berinteraksi satu sama lain meningkat. Pusat belanja bisa menjadi tempat yang pas untuk berinteraksi sembari makan, minum dan menikmati hiburan.
Di mancanegara, seperti di Singapura, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Malaysia, dan lain-lain pusat belanja berkembang ke arah itu. Dalam satu tempat ada pusat belanja, perkantoran, hunian (apartemen), bahkan hotel dan stasiun MRT atau transportasi publik lainnya. Semua akan melewati pusat belanja sebelum menuju ke kantor, hunian atau tempat lainnya. Pusat belanja harus benar-benar memfungsikan sebagai wadah berkumpul.
“Pusat belanja harus menjadi social connection hub. Tempat orang berkumpul, berinteraksi dan melakukan banyak hal secara kolektif. Setelah mereka berkumpul di pusat belanja, lalu mereka makan, minum, dan lihat ada barang bagus kemudian belanja. Hal seperti itu tak bisa tergantikan, jadi memang harus offline,” tandasnya.
Kalau pengelola pusat belanja hanya memfungsikan tempatnya sebagai tempat belanja, tak ada hal yang menarik lainnya, akan kalah telak berhadapan dengan market place. “Masing-masing punya kelebihan, dan bagaimana kita mengoptimalkan kelebihan itu dan menjadi menarik bagi masyarakat,” kata Alphonzus Widjaja kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai yang menyambanginya di pusat belanja Kota Kasablanca, Jakarta Selatan, belum lama berselang. Ia bicara soal bagaimana pusat belanja harus berjibaku menghadapi kerasnya pandemi COVID-19, bagaimana mereka memutar otak agar beragam persoalan yang mengiringi bisa diatasi satu persatu. Inilah petikan perbicangan selengkapnya.
Hampir semua lini terdampak pandemi COVID-19, bagaimana dengan anggota APPBI? Kesulitan dalam hal apa saja yang paling dirasakan?
Pertama tentunya adalah pendapatan berkurang. Para penyewa tidak mampu membayar sewa sehingga mengakibatkan pendapatan dari pusat perbelanjaan langsung drop. Meski begitu pusat perbelajaan harus tetap membayar biaya-biaya meski pusat belanjanya tutup selama tiga bulan pada April, Mei dan Juni 2020 lalu. Biaya yang harus dibayar itu seperti listrik dan gas. Lalu pajak dan retribusi, seperti PBB, pajak reklame tetap harus dibayar penuh. Gaji pegawai juga tetap dibayar. Inilah yang memberatkan anggota kami selama pandemi.
Apa yang dilakukan dengan kondisi ini?
Pusat belanja melakukan efisiensi, maksimal 30 persen. Karena ada faktor yang tak bisa dikurangi: keamanan, keselamatan dan kesehatan. Efisiensi tidak bisa dilakukan pada tiga hal itu. Keamanan lift, eksklator harus tetap dijaga. Setelah efisiensi dilakukan pengurangan karyawan dengan langkah-langkah. Pertama dirumahkan, dulu untuk untuk untuk terkait sama tenaga kerja ini ada tiga tahapan tahap pertama itu adalah di rumah kan dengan upah dibayar penuh, kedua dirumahkan dengan upah dibayar sebagian dan terakhir baru dilakukan PHK.
Kita sudah melewati itu semua dan yang paling berat di tahun 2021. Soalnya tahun 2020 itu meskipun pusat perbelanjaan ditutup 3 bulan tetapi masih memiliki cadangan, jadi masih bisa bertahan. Tapi dana cadangan ini habis terkuras dipakai untuk bertahan di tahun 2020. Nah, begitu memasuki tahun 2021 pusat belanja sudah tidak ada cadangan lagi. Kami memasuki 2021 kondisinya jauh lebih berat, pada bulan Juni dan Juli ada varian Delta.
Adakah pusat belanja yang tutup?
Bagi pusat perbelanjaan yang skalanya kecil dan menengah menghadapi kondisi ini sudah tidak kuat, dan akhirnya tutup atau dijual. Pakuwon Group mengambil alih Hartono Mal di Yogyakarta dan Solo. Tetapi memang performa dan kinerja pusat belanja sebelum pandemi juga sangat mempengaruhi. Jadi kalau pusat-pusat perbelanjaan ini performanya sebelum pandemi itu kurang maksimal begitu masuk ke masa pandemi keadaan makin berat.
Saya mengklasifikasikan pusat belanja itu dalam tiga kelas; atas, menengah dan bawah. Kelas atas itu hanya 5 persen dari semua pusat belanja, itu mal yang ada di Sudirman dan Thamrin. Seperti Plaza Indonesia, Plaza Senayan, Pacific Place, dan Senayan City Jakarta. Lalu kelas menengah sebanyak 35 persen. Dan yang terbesar itu kelas bawah sebanyak 60 persen. Yang paling terdampak kelas menengah dan bawah. Karena costumernya pegawai dan karyawan yang juga terdampak. Kalau yang level atas ini itu costumer-nya wiraswasta, yang relatif pendapatannya masih jauh lebih stabil daripada kelas menengah bawah. Semua kelas terkena dampak dengan situasi yang berbeda.
Sekarang keadaan makin kondusif, bagaimana merespon hal ini?
Kami harus sampaikan apresiasi pada pemerintah yang cukup baik tangani pandemi ini meski awalnya gagap. Waktu itu kesehatan diutamakan, ekonomi dinomorduakan. Sekarang kondisinya sudah mulai seimbang. Nah sekarang ini saatnya kita untuk keluar dari kesulitan ekonomi. Keseimbangan ini didapat karena pemerintah salah satunya berhasil melakukan vaksinasi. Kita harus dorong terus. Vaksinasi menjadi kunci. Bahkan pusat belanja ikut mendukung dan jadi sentra vaksinasi serta mendukung protokol pedulilindungi. Meski awalnya ditentang akhirnya mendorong percepatan vaksinasi.
Sekarang ada anggapan mal yang menerapkan pedulilindungi dan protokol kesehatan yang ketat justru membuat masyarakat percaya, karena dianggap sehat. Dan sebaliknya kalau ada mal yang kurang memerhatikan faktor ini membuat publik takut. Ini hal yang positif dan membuat tingkat kunjungan ke pusat belanja naik terus. Tahun 2020 turun cuma 50 persen, tahun 2021 naik jadi 60 persen dan tahun 2022 ini prediksi naik 70 sampai 80 persen. Situasinya makin kondusif, estimasi masa Ramadan dan Idul Fitri akan semakin membaik hingga paruh kedua triwulan kedua 2022.
Saat masyarakat berkunjung ke pusat belanja, apa saja yang paling banyak dicari; kebutuhan pokok, busana, kuliner, hiburan, musik, bioskop, dan apa lagi?
Awal pandemi 2020/2021 yang paling dicari hanya kebutuhan pokok dan kebutuhan kesehatan. Di supermarket restoran makan ini hanya itu yang dicari jadi kebutuhan itu kesehatan ya itu kesehatan dan kebutuhan pokok dan kemudian kebutuhan rumah tangga karena publik banyak di rumah. Mereka banyak melakukan renovasi rumah selain kebutuhan pokok. Yang paling terdampak adalah busana, dan kebutuhan sekunder lainnya.
Di masa pandemi ini apakah anggota APPBI memberikan keringanan kepada penyewa dalam pembayaran sewa misalnya? Agar para penyewa di mal bisa bertahan?
Kami memberikan bantuan dengan berbagai keringanan biaya sewa. Tapi kebijakan tidak bisa sama antara pusat belanja satu dengan yang lain, antara penyewa yang satu dengan yang lain. Jenis yang dijual juga berbeda, ada yang terdampak dan ada yang tidak seperti sektor kesehatan. Faktor-faktor ini digunakan untuk memberikan kemudahan. Yang jelas asosiasi memberikan bantuan meski bentuknya tak sama. Harapan kita semua pusat belanja tetap beroperasi. Tetapi bagaimana kita beroperasi secara aman dan sehat di tengah konsisi seperti sekarang ini. Kami juga meminta kepada pemerintah memberikan relaksasi, subsisi upah dan insentif. Pemerintah mengabulkan permintaan kami meski tidak semua karena kendala anggaran.
Baca juga:
- Mal Boleh Buka dengan Kapasitas 25 Persen, APPBI: Sebenarnya Belum Bisa Meringankan Beban Berat Kami
- Ribuan Orang Postif COVID-19 Ditolak Masuk Pusat Perbelanjaan, APPBI: Pemerintah Harus Pastikan Mereka Tidak Berkeliaran
- Pak Jokowi, Pedagang Pasar Ngeluh karena Kehilangan Pembeli: Pemerintah Lebih Berpihak ke Ritel Modern Soal Minyak Goreng
- Sri Mulyani: Indonesia Sukses Manfaatkan Momentum Pandemi COVID-19 Untuk Reformasi
Apalagi yang dilakukan APPBI dalam konsisi pandemi ini?
Kami melakukan tukar wawasan dan pengetahuan dengan asosiasi pusat belanja lain dari luar negeri, seperti dengan asosiasi mal Hong Kong, Taiwan dan China. Terutama China mereka lebih dulu rebound. Pengalaman yang mereka lakukan ditularkan kepada kita.
Apakah market place dan online shop yang marak belakangan ini memengaruhi orang untuk berbelanja ke mal, berapa besar pengaruhnya terutama dalam dua tahun terakhir?
Sebenarnya dari sebelum pandemi online shop, market place sudah dianggap disrupsi bagi pusat belanja. Setelah pandemi penetrasi penjualan online makin masif. Tapi apakah ini benar-benar ancaman bagi pusat perbelanjaan? Menurut saya tidak demikian. Kenapa? karena tidak semua produk bisa di-online-kan. Makanan yang paling gampang makanan. Untuk makanan find dinning tidak bisa di-online-kan. Kita harus duduk manis dilayani biar feel-nya dapat. Kumpul bersama teman dan kolega itu engga bisa didapat kalau tidak hadir.
Fungsi pusat belanja kalau hanya sebagai tempat berbelanja, online shop pasti akan menjadi ancaman. Karena itu hindari. Sebetulnya DNA pusat belanja itu offline. Kalau marketplace itu DNA-nya memang online. Makanya pusat perbelanjaan jangan ikut-ikutan menjadi online. Fitur-fitur di pusat perbelanjaan harus digital, tetapi digital itu bukan berarti itu menjadi online shop. Contoh digital itu parkir, bayar parkir sudah digital. Promosi dan publikasinya sudah digital, tetapi tidak ikut-ikutan jualan online.
Jadi fungsi offline-nya harus diperkuat?
Ya, pusat belanja harus memperkuat fungsi offline itu. Manusia itu kan makhluk sosial, pusat belanja bisa menjadi social connection hub. Kita perlu berinteraksi dengan sesamanya secara langsung bukan secara virtual. Sekarang ini apa-apa virtual, mulai dari meeting, ultah, menikah, acara kematian dan lain-lain. Orang sudah bosan dengan itu semua. Jadi hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang harus ditangkap oleh pusat perbelanjaan. Pusat belanja harus bisa menyiapkan dan menyediakan fungsi lain selain fungsi belanja.
Mal bisa menjadi tempat bertemu, kumpul dan kegiatan lainnya. Fungsi ini yang harus diutamakan fungsi belanjanya menjadi fungsi kedua. Kalau dibalik akan berhadapan dengan market place. Di luar negeri, Hong Kong, Tokyo, dan lain-lain fungsi seperti itu. Pusat perbelanjaan bukan sekadar tempat belanja. Dari MRT station mau ke kantor lewati mal, dari apartemen ke MRT lewat mal. Jadi fungsi pusat belanja di sana bukan hanya sekedar tempat belanja tapi sudah menjadi connection hub. Di Jakarta itu baru ada pada Blok M Plasa.
Kalau fungsi pusat belanja sebagai social connection hub maka market place jadi bukan saingannya. Orang kita kan suka berkumpul, makan-makan dan sebagainya. Fungsi ini yang harus ditonjolkan agar bisa menjadi pemenang.
Di Masa Pandemi Kata Alphonzus Widjaja, Jangan Mengurangi Aktivitas
Boleh saja ruang gerak kita dibatasi saat pandemi COVID-19 mencapai puncak atau saat harus isolasi mandiri. Namun kata Alphonzus Widjaja Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) aktivitas tak boleh berkurang. Tetap saja berolahraga, meeting virtual dan sebagainya. Setelah keadaan makin membaik kini, semua harus makin ditingkatkan.
“Sebetulnya di masa pandemi ini kegiatan saya lebih banyak. Dulu sebelum pandemi meeting harus bertemu, kadang mencocokkan waktu itu tidak mudah. Sekarang melalui teknologi, meeting bisa dilakukan setiap saat, kapan dan di mana pun,” kata pria kelahiran Sukabumi Jawa Barat, 18 Agustus 1965 ini.
Untuk mengimbangi aktivitas yang tetap tinggi itu, Alphonzus melakukan olahraga yang bisa meningkatkan elastisitas dan kebugaran tubuh. “Olahraga itu penting sekali dilakukan, kalau saya olahraganya berenang. Rasanya ada yang kurang kalau tidak menggerakkan otot-otot tubuh,” lanjutnya.
Cuma di masa pandemi COVID-19 ini ia agak kesulitan mencari kolam renang umum yang sudah buka. “Untunglah meski tidak sebesar kolam renang umum yang biasanya ukurannya standar olimpiade, saya punya kolam renang di rumah. Ya lumayan bisa untuk berolahraga. Sekarang satu dua sudah ada kolam renang yang beroperasi untuk umum dengan persyaratan protokol kesehatan ketat,” kata CEO dari Retail & Hospitality Division at (Jakarta) SINAR MAS LAND (Real Estate Developer).
Selain itu Alphonz juga melengkapi pertahanan tubunya dengan asupan makanan yang bergizi dan multivitamin yang bisa menambah imun tubuh. Dia berprinsip lebih baik mencegah daripada mengobati. Asupan makanan dan multivitamim yang dibutuhkan tubuh akan berguna dalam menjaga dan meningkatkan imun tubuh.
Satu lagi yang perlu dijaga baik di masa pandemi sebelum masa pandemi, kata Alphonz adalah menjaga pikiran agar senantiasa rileks dan terhindar dari stres. “Pikiran itu paling besar pengaruhnya. Dia akan memengaruhi kondisi fisik yang semula baik-baik saja berubah menjadi drop. Jadi pikiran itu harus dijaga, sedapat mungkin berpikiran positif dan buang jauh-jauh pikiran negatif yang akan merugikan tubuh,” lanjut pria yang menyelesaikan studinya di Fakultas Teknik Sipil, Universitas Pancasila Jakarta.
Peluang
Disadari benar oleh Alphonz pandemi yang melanda dunia dua tahun belakangan membawa banyak perubahan dari segala aspek kehidupan. “Dan perubahan ini adalah peluang,” katanya optimis.
Pertanyaannya, ia melanjutkan, peluang ini tidak akan jadi apa-apa kalau tidak dimanfaatkan dan dimaksimalkan. “Harus ada inovasi dengan kreativitas dan sebagainya, agar peluang tadi bisa berubah menjadi keuntungan,” katanya.
Di sektor pusat belanja juga demikian. “Kita harus berjuang keras agar bisa melewati pandemi yang belum tahu kapan akan berakhirnya. Tetapi yang membuat kita bersemangat dari hari kehari keadaan semakin membaik. Pembatasan pelan-pelan melonggar. Kunjungan ke mal mulai pulih kembali meski belum kembali seperti sebelum pandemi, tapi progresnya meningkat terus,” katanya.
Saat melakukan perjalalan ke mancanegara, terutama negara yang pusat belanjanaya maju seperti Singapura, Hong Kong, China, Korea, Jepang, dll., ia banyak mengambil pelajaran. “Memang tidak serta merta apa yang kita temukan di mancanegara itu bisa kita terapkan di Indonesia. Ada hal-hal yang bersifat universal yang bisa diaplikasikan dengan modivikasi sana-sini sesuai dengan kondisi negara kita,” paparnya.
“Bagaimana pusat belanja di negara yang saya kunjungi itu memajang produk-produknya dengan cara yang unik dan menarik. Bagaimana dekorasi dan desain tokoh-tokohnya. Untuk brand tertentu yang laris di sebuah negara, bisa kita tawarkan untuk membuka cabangnya di Indonesia dan sebagainya,” papar Alphonz.
Liburan
Alphonz bersyukur bisa berkarya di pusat belanja. Meski kerjanya nyaris tanpa henti selama sepekan, namun pada dasarnya setiap hari itu seperti liburan terus. Kok bisa begitu?
“Saya kasih tahu enaknya bekerja di pusat belanja. Setiap hari seperti liburan. Pas saat kunjungaan ke daerah pun demikian, yang dikunjungi pasti pusat belanja di kota yang menjadi tujuan saya,” kataya.
Karena itu ia kerap mengajak keluarga saat ada tugas keluar kota, baik untuk kantor tempatnya berkarya kini, atau pun dari organisasi profesi; APPBI di mana ia menjadi pucuk pimpinannya. “Saya biasa mengajak anak dan istri saat ada tugas ke luar kota. Kita kan pertemuannya di pusat belanja. Saat datang bersama istri mereka bisa menikmati fasilitas yang ada di pusat belanja sedangkan saya melaksanakan tugas atau meeting di tempat yang sama meski berbeda lokasi. Jadi itu salah satu keuntungan kerja di pusat belanja, every day is holiday, hehehe,” kata Alphonz sembari tertawa.
Ia menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk tidak ragu mengunjungi pusat belanja. Soalnya semua pusat belanja yang bernaung di bawah APPBI sudah menerapkan protokol kesehatan. “Dulu saat awal-awal pandemi orang takut datang ke pusat belanja atau mal. Sekarang sudah engga ada alasan lagi, karena mal sudah menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Ada tiga faktor hal yang tak bisa ditawar dan itu diapliaksikan di pusat belanja; keamanan, keselamatan dan kesehatan,” pungkas Alphonzus Widjaja.
“Sebenarnya dari sebelum pandemi online shop, market place sudah dianggap disrupsi bagi pusat belanja. Setelah pandemi penetrasi penjualan online makin masif. Tapi apakah ini benar-benar ancaman bagi pusat perbelanjaan? Menurut saya tidak demikian. Kenapa? karena tidak semua produk bisa di-online-kan,”