Belajar dari Tragedi Kematian Petinju Hero Tito: Tinju Adalah Ilmu, Bukan Sekedar Adu Pukul

“Saat bel berbunyi dan aku meninggalkan sudutku, aku tidak pernah yakin bakal kembali lagi ke situ.” (John Conteh, mantan juara kelas berat ringan WBC asal Inggris)

JAKARTA – Tragedi kematian petinju asal Malang, Heru Purwanto yang punya nama ring Hero Tito menjadi alarm yang mengingatkan kita tentang risiko tinggi dalam olahraga tinju. Heru meninggal setelah kalah KO ronde 7 dari James Mokoginta dalam pertarungan yang digelar di Holywings Club SCBD, Jakarta pada 27 Februari 2022.

Empat hari Heru mengalami koma dalam perawatan di RS Mitra Kelapa Gading Jakarta Utara. Dia segera dilarikan ke sana setelah tumbang KO dan pingsan. Upaya operasi yang dilakukan tim dokter pimpinan Dokter  Mardjono Tjahjadi untuk menyelamatkan nyawa Heru gagal. Petinju itu pergi meninggalkan sang istri Didin Nurul Wijayanti dan dua putri yang berlum beranjak remaja.

Petinju Hero Tito ditandu keluar ring setelah pingsan akibat terpukul KO saat melawan James Mokoginta di Jakarta, 27 Februari 2022. (Foto: Net.tv)

Banyak kalangan tinju berpendapat bahwa salah satu faktor penting yang menyebabkan kematian Heru di atas ring adalah pengawasan. Apa yang dimaksudkan dengan pengawasan adalah kontrol dari dalam kubu petinju sendiri maupun pihak luar.

“Masalahnya di sini adalah pengawasan. Baik pengawasan dari dalam manajemen tinju Heru, maupun pengawasan eksternal dari Pemerintah Indonesia. Kedua hal ini harus berjalan seiring. Tidak bisa kita lepaskan seorang petinju sendirian menentukan kesiapannya naik ring. Pemerintah juga punya peran besar untuk menentukan laik tidaknya seorang petinju naik ring, dari sisi pemeriksaan kesehatan misalnya,” kata Daud Yordan, petinju nasional juara kelas ringan super (63,5 kg) IBA.

Kompleksitas Tinju

Tinju adalah olahraga pertarungan tertua sekaligus paling populer di dunia. Dari kacamata awam, aktivitas ini hanya menunjukkan dua orang saling beradu pukul di atas ring. Terlihat sederhana, bahkan tak sedikit yang mengatakan brutal. Seolah semua orang mampu melakukannya. Tetapi sebenarnya tinju memiliki kompleksitas yang jauh lebih banyak ketimbang yang terlihat.

Pengamat, dokter, dan petinju seringkali menggunakan terminologi Sweet Science, untuk mendeskripsikan kompleksitas tinju. Istilah Sweet Science atau Ilmu yang Manis, pertama kali dicetuskan oleh wartawan olahraga asal Inggris, Pierce Egan pada 1813. Meskipun petinju hanya menggunakan tangan, agar mengetahui cara menyerang dan bertahan dengan benar perlu pemahaman yang sangat dalam soal tinju.

Latihan dan persiapan secara benar mutlak dilakukan seorang petinju saat menghadapi sebuah pertandingan. (Foto: AIBA)

Pada awalnya pemakaian istilah Sweet Science memang terasa aneh, namun sebenarnya ini terminologi yang ideal untuk mendeskripsikan tinju. Tinju adalah strategi. Seperti bermain catur, seorang petinju harus sudah mengantisipasi tiga atau empat langkah di depan yang kemungkinan akan diterapkan lawan.

Istilah Sweet Science menjadi populer di era modern, setelah A.J Liebling menerbitkan buku dengan judul The Sweet Science pada 1956. Buku tersebut berisi momen-momen paling ikonik dalam sejarah tinju, dan menjadi sebuah buku yang populer. Majalah Sports Illustrated pada tahun 2002 menempatkan buku The Sweet Science dalam daftar buku bertema olahraga paling keren sepanjang masa.

Tinju Aktivitas Berbahaya

Lewat pemahaman terhadap segala seluk beluk tinju, maka sebuah kemenangan akan terasa manis. Itulah sebabnya kata “manis” dipakai oleh Egan untuk menggambarkan dunia tinju. Sebaliknya jika pemahaman terhadap aktivitas olahraga ini hanya setengah-setengah, bakal terasa sangat pahit bahkan tragis seperti yang dialami Hero Tito.

Menurut data American Association of Neurological Surgeon atau Asosiasi Dokter Bedah Saraf Amerika (AANS), pada tahun 2018 tinju sebenarnya tidak masuk dalam kategori olahraga paling berisiko cedera kepala. Trauma cedera kepala paling banyak dialami pelaku olahraga bersepeda, yang di Amerika pada 2018 mencapai 64.411 kasus.

Mereka rata-rata pesepeda yang melakukan aktivitas rekreasional, bukan profesional. Tinju malah tidak masuk daftar. Meskipun begitu, kewaspadaan dan pengawasan ekstra terhadap aktvitas tinju tetap harus dilakukan.

Cedera kepala akibat bertinju diperoleh karena akumulasi pukulan. Semakin lama seseorang bertinju, maka akan semakin besar risiko cedera kepala yang bakal diderita. Menurut penelitian AANS, pukulan petinju yang dilakukan dengan benar dan mendarat telak memiliki kekuatan 52 kali gaya gravitasi. Itu kira-kira setara dengan benturan bola boling seberat hampir 6 kg dengan kecepatan 20 km/jam.

Minum dalam jumlah cukup mutlak dilakukan seorang petinju, baik dalam latihan maupun pertandingan. (Foto: boxingnewsonline.net)

Menurut Journal of Combative Sport, dalam kurun waktu 1960-2011 tercatat 488 kasus kematian dalam tinju. Sebanyak 66 persen kematian yang terjadi disebabkan oleh cedera di kepala, otak, maupun leher.

Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa 15-40 persen mantan petinju memiliki masalah cedera otak, dalam berbagai tingkatan mulai ringan hingga parah. Kerusakan tersebut mulai kehilangan daya ingat, kesulitan berbicara, keseimbangan badan yang buruk, perilaku yang menyimpang, dan banyak lagi.

“Tinju adalah olahraga yang keras dan berbahaya, sebab itu persiapan yang baik mutlak diperlukan. Jangan bersiap mendadak, dan sebaiknya dilakukan jauh hari. Dan sekali lagi, belajar untuk mengembalikan cairan tubuh yang hilang karena latihan. Cairan tubuh yang cukup sangat penting untuk melindungi otak, karena 80 persen dari tubuh manusia adalah cairan. Jika seorang petinju mengalami dehidrasi, maka perlindungan otak oleh cairan akan sangat kurang. Akibatnya petinju mudah cedera otak karena pukulan,” kata mantan juara dunia asal Indonesia, Chris John membagikan salah satu ilmu bertinju yang dimilikinya.

“Setiap kematian adalah bencana. Kami melakukan segala daya kami untuk menghentikan tragedi. Kami berusaha keras untuk membuat tinju lebih aman. Tetapi ini adalah olahraga yang berbahaya, dan petinju sadar akan masalah ini,” ujar Robert Smith, mantan petinju yang pernah menjadi sekretaris British Boxing Board of Control, Badan Pengawas Tinju Inggris.

Pengetahuan, ilmu soal bertinju atau Sweet Science mutlak dikuasai. Pemahaman tentang segala aspek bertinju dapat mengurangi risiko kematian seperti yang dialami Hero Tito.