Kasus Infeksi COVID-19 di Hong Kong Masih Tinggi: Masyarakat Panic Buying, Perusahaan Ritel Lakukan Pembatasan
JAKARTA - Dua perusahaan ritel terbesar di Hong Kong mulai menjatah beberapa makanan dan obat-obatan pada Hari Jumat, untuk mengekang panic buying alias pembelian panik yang telah melanda kota itu selama seminggu terakhir di tengah kekhawatiran penguncian di seluruh kota, ketika kasus COVID-19 melonjak.
Otoritas kesehatan melaporkan 52.523 kasus COVID-19 baru pada Hari Jumat dan 136 kematian. Ini dibandingkan dengan sekitar 100 infeksi pada awal Februari dan tiga bulan berturut-turut nol kasus sebelum akhir Desember.
Ini adalah hari ketiga berturut-turut jumlah kasus mencapai 50.000. Penyebaran ini telah membatasi tenaga kerja yang tersedia dalam sistem perawatan kesehatan, dan untuk transportasi umum, operator mal, supermarket, dan apotek.
Jaringan supermarket ParknShop mengumumkan batasan lima item per pelanggan untuk kebutuhan pokok seperti nasi, makanan kaleng, dan kertas toilet. Sementara apotek Watsons memberikan batasan yang sama pada obat-obatan untuk nyeri, demam, dan pilek.
"Berlaku hari ini, ParKnShoP dan Watsons Hong Kong akan memberlakukan pembatasan pembelian pada produk dan obat-obatan tertentu di semua toko," kata Watsons dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters 4 Maret.
Baik ParknShop dan Watsons adalah unit dari konglomerat yang terdaftar di Hong Kong, CK Hutchison.
Pada Hari Rabu, ParknShop mengumumkan jam buka yang lebih pendek, dengan beberapa dari 200 cabangnya tutup pada pukul 3 sore. Saat itu banyak toko di seluruh pusat keuangan Asia, telah kehilangan daging dan sayuran segar dan beku dalam beberapa hari terakhir.
Sementara, operator mal HKTV mengatakan dalam pengajuan pertukaran pada Hari Jumat, sekitar 20 persen dari 'tenaga garis depan' Hong Kong tengah berada dalam karantina.
Terpisah, pengadilan Hong Kong, dengan alasan risiko kesehatan, mengatakan sidang pengadilan akan ditangguhkan antara 7 Maret dan 11 April, dengan beberapa pengecualian, termasuk aplikasi jaminan, serta kasus yang melibatkan orang dalam tahanan dan perlindungan anak.
Sebelumnya, pejabat Hong Kong telah berulang kali mendesak orang-orang agar tidak melakukan pembelian panik minggu ini, dengan mengatakan persediaan cukup.
Di tengah keluhan publik tentang pesan resmi yang membingungkan, Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan pemerintahnya tidak memiliki rencana untuk 'mengunci total', sementara merencanakan pengujian wajib terhadap 7,4 juta penduduk kota itu. Pemerintah akan mengumumkan rincian rencana ketika selesai, katanya.
Lonjakan kasus dan ketakutan akan penguncian telah memicu kepergian massal orang-orang dari kota, di mana pihak berwenang berpegang teguh pada kebijakan 'nol dinamis' yang berupaya memberantas semua wabah dengan segala cara.
Hong Kong melihat arus keluar lebih dari 71.000 orang pada Februari, terbesar sejak awal pandemi, menurut data pemerintah, dibandingkan dengan 16.879 pada Desember.
Di sisi lain, larangan penerbangan dari sembilan negara termasuk Amerika Serikat, Inggris dan Australia berlaku hingga 20 April, membuat beberapa penduduk yang telah pergi sementara terdampar, tidak dapat masuk kembali.
Baca juga:
- Pemimpin Quad Sepakat Peristiwa Invasi Rusia ke Ukraina Jangan Sampai Terjadi di Indo-Pasifik
- Mantan Juara Dunia Catur Kasparov Sebut Kejahatan Perang Putin di Luar Imajinasi, Kembalikan Rusia ke Zaman Batu
- Puji Operasi Khusus di Ukraina Berjalan Sesuai Rencana, Presiden Putin: Tentara Kami Berjuang dengan Gigih
- AS Kembali Jatuhkan Sanksi Terhadap Rusia, Sasar Juru Bicara Kremlin hingga Konglomerat Alisher Usmanov
Banyak restoran dan toko tutup, sementara distrik keuangan Central sangat sepi dan hanya sedikit orang yang keluar di lingkungan yang biasanya ramai.
Menyoroti meningkatnya frustrasi publik, pengusaha terkemuka dan penasihat pemerintah Allan Zeman mengatakan pada Hari Selasa, reputasi internasional Hong Kong telah 'sangat rusak' dan alarm telah dibuat oleh pesan-pesan yang membingungkan.
Untuk diketahui, Hong Kong telah melaporkan sekitar 400.000 kasus COVID-19 sejak virus corona muncul di Kota Wuhan di China pada akhir 2019 dan sekitar 1.500 kematian. Jauh lebih sedikit daripada banyak kota lain. Sebagian besar infeksi dan kematian tercatat dalam sebulan terakhir.