Komnas HAM: Total Penghuni Kerangkeng Manusia yang Meninggal Ada 6 Orang

JAKARTA - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mengatakan ada enam orang penghuni kerangkeng di rumah Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin Angin.

Hal tersebut disampaikannya Anam dalam konferensi pers 'Catatan Kekerasan Kerangkeng Manusia di Kediaman Bupati Langkat Nonaktif' yang ditayangkan di YouTube Humas Komnas HAM RI.

"Di awal ada tiga korban. Habis itu kami berproses sendiri sampai dua minggu lalu kami mendapatkan informasi bahwa jumlah korban bertambah tiga lagi. Jadi totalnya ada enam korban meninggal dunia di sana," kata Anam, Rabu, 2 Maret.

Namun, Anam belum mengetahui penyebab meninggalnya ketiga orang yang belakangan diketahui.

"Apakah betul akibat kekerasan, penyiksaan, dan sebagainya atau akibat tindakan di sana atau mati karena dirinya sendiri, kita belum mendalami secara mendalam," ungkapnya.

Atas kondisi ini, Komnas HAM kemudian menyerahkannya kepada pihak kepolisian untuk mendalami lebih lanjut kematian enam orang tersebut.

Sebelumnya, Analisis Pelanggaran HAM Yasdad Al Farisi mengungkap telah terjadi beberapa pola kekerasan di dalam kerangkeng yang disebut sebagai tempat rehabilitasi itu, seperti penjemputan paksa calon penghuni hingga kekerasan yang dilakukan jika melawan atau melanggar aturan pengurus kerangkeng maupun Terbit.

Selain itu, terjadi perundungan yang dilakukan oleh penghuni kerangkeng yang sudah lebih lama berada di sana. Yasdad menuturkan, kekerasan dengan intensitas tinggi biasa terjadi di periode awal setelah penghuni masuk atau pada satu bulan pertama.

Setidaknya, ada 26 bentuk penyiksaan dari para pelaku. "Antara lain dipukuli di bagian rusuk, kepala, muka, rahang, bibir, ditempeleng, ditendak, diceburkan ke dalam kolam ikan, direndam, diperintahkan untuk bergelantungan di kerangkeng seperti monyet atau gantung monyet," ujarnya.

Tak sampai di situ, penghuni baru juga kerap dicambuk mengguna selang, mata dilakban, kaki dipukul menggunakan palu atau martil hingga kukunya terlepas, dipaksa tidur di atas daun atau ulat gatal, dipaksa makan cabai, dan juga tindakan kekerasan lain yang tak dirinci lebih jauh.

"Terdapat minimal 18 alat yang digunakan dalam tindak kekerasan ini antara lain selang, cabai, ulat gatal, daun, besi panas, lilin, jeruk nipis, garam, plastik yang dilelehkan, palu atau martil, rokok, korek, tang, batako, dan alat setrum. Lalu ada kerangkeng danjuga kolam," jelas Yasdad.

Lebih lanjut, Komnas HAM juga menemukan beberapa istilah yang digunakan dalam proses kekerasan ini. "Pertama ada MOS, gantung monyet, sikap tobat, 2,5 kancing, dan dicuci," tegasnya.

"Kondisi fisik akibat kekerasan ini menimbulkan bekas luka maupun luka yang tidak berbekas di bagian tubuh," pungkas Yasdad.