Pemerintah: Masker Scuba dan Buff Tak Efektif Cegah COVID-19
JAKARTA - Menggunakan masker di tengah pandemi COVID-19 adalah sebuah keharusan namun tidak semua masker ternyata efektif untuk menangkal virus ini. Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan masker dari kain scuba dan buff tidak efektif untuk mencegah COVID-19.
"Masker scuba dan buff ini adalah masker dengan satu lapis saja dan terlalu tipis. Sehingga kemungkinan untuk tembus dan tidak bisa menyaring lebih besar," kata Wiku dalam konferensi pers secara daring yang disiarkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 15 September.
Selain itu dua jenis masker ini biasanya mudah untuk ditarik hingga ke bawah dagu sehingga menghilangkan fungsi dari penggunaannya.
Daripada menggunakan buff atau masker scuba, masyarakat bisa menggunakan masker bedah terutama saat mereka sedang sakit. Sementara untuk masyarakat yang sehat bisa menggunakan masker kain.
Namun yang harus diingat, dalam memilih masker kain, diusahakan yang berbahan katun dan berlapis tiga. "Hal ini penting karena kemampuan memfiltrasi atau menyaring partikel virus itu akan lebih baik dengan jumlah lapisan yang lebih banyak. Dalam hal ini 3 lapisan berbahan katun," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, peneliti dari Universitas Duke menciptakan cara sederhana untuk menguji efektivitas berbagai jenis masker yang ada. Tak terduga, ternyata masker yang terbuat dari kain fleece seperti buff paling tidak aman. Masker jenis itu justru membuat tetesan udara atau droplets semakin banyak.
Penelitian ini berawal ketika seorang profesor dari Duke's School of Medicine membantu kelompok lokal membeli masker dalam jumlah besar untuk didistribusikan kepada anggota komunitas yang membutuhkan. Ia ingin memastikan kelompok tersebut membeli masker yang benar-benar efektif.
Dalam studi yang diterbitkan Science Advances beberapa waktu lalu, para peneliti mendemonstrasikan metode sederhana menggunakan sinar laser dan ponsel untuk menguji efisiensi masker. Mereka mempelajari penyebaran droplets atau tetesan pernafasan selama seseorang melakukan percakapan biasa.
"Kami menggunakan kotak hitam, laser dan kamera," kata Martin Fischer salah satu peneliti kepada CNN. "Sinar laser diperluas secara vertikal untuk membentuk lembaran tipis cahaya, yang kami pancarkan melalui celah di kiri dan kanan kotak."
Baca juga:
Sementara itu di bagian depan kotak disediakan lubang agar seseorang dapat berbicara ke dalamnya. Kamera ponsel ditempatkan di bagian belakang kotak untuk merekam cahaya yang menyoroti droplets ketika seseorang berbicara. Lewat rekaman itulah droplets kemudian dihitung menggunakan algoritma komputer sederhana.
Dalam penelitian itu, ada 14 masker yang diuji termasuk masker N95 yang digunakan secara profesional oleh para tim medis. Pertama, pengujian dilakukan dengan cara memperhatikan seseorang berbicara tanpa menggunakan masker dengan menggunakan kotak tersebut. Lalu orang tersebut melakukannya lagi dengan menggunakan masker. Setiap masker diuji 10 kali.
Hasilnya, masker yang paling efektif adalah N95. Dibawahnya ada masker bedah tiga lapis dan masker yang terbuat dari bahan katun yang dibuat oleh banyak orang di rumah juga berkinerja baik.
Sementara itu masker yang kurang baik untuk digunakan terbuat dari kain fleece atau imitasi benang wol seperti buff. Kain ini biasanya digunakan untuk pembuatan sweater dan hoodie.
Sebelumnya, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) juga meminta agar penumpang yang menggunakan commuter line tidak menggunakan masker berjenis scuba maupun buff.
Vice President Corporate Communication PT KCI Anne Purba meminta pengguna selalu memakai masker dengan benar yaitu menutupi hidung dan mulut secara sempurna. Demi kesehatan bersama, sambung Anne, sangat dianjurkan menggunakan masker yang efektifitasnya mencukupi dalam mengurangi droplet atau cairan.
"Gunakan setidaknya masker kain yang terdiri dari minimal dua lapisan. Hindari penggunaan jenis scuba maupun hanya menggunakan buff atau kain untuk menutupi mulut dan hidung," tutur dia.