Pernyataan Menteri Sofyan ke Kementerian LHK yang Minta Lapor BPN Bila Pindahkan Batas Hutan Menyesatkan

JAKARTA - Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil terkait batas hutan dinilai menyesatkan. Karena faktanya yang sering terjadi di lapangan adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) berani mengeluarkan surat atau sertifikat dalam kawasan hutan, tanpa mengecek lebih dulu status kawasan.

''Sertifikat berani dikeluarkan meski dalam kawasan hutan, tanpa mengecek kasasan itu APL (Area Peruntukan Lain) atau tidak, dan itu umumnya yang bermasalah untuk kebun sawit,'' sindir Direktur Paradigma, Riko Kurniawan, Minggu 20 Februari.

Pernyataan Menteri ATR/BPN di Komisi II DPR RI yang meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera melaporkan ke BPN perihal pemindahan batas hutan, juga dinilai kurang tepat. Sofyan dinilai perlu menelaah lebih jauh kinerja jajarannya di daerah, sebelum melempar pernyataan yang kontradiksi dengan kerja lapangan maupun sesama kolega di Kementerian yang justru bisa dinilai menjatuhkan wibawa pemerintah.

''Tata batas hutan itukan pasti dibuat dengan keterlibatan anggota atau tim dari Kementerian ATR. Persoalan batas ini juga bukan hanya soal gambar di atas kertas kerja saja, tapi di dalamnya juga ada urusan sosial kemasyarakatan yang menjadi tanggungjawab Pemda. Jadi pernyataan Menteri ATR/BPN soal batas hutan ini ada di KLHK saja, saya nilai menyesatkan,'' kata Riko.

Terlebih lagi seharusnya jika mengacu pada aturan, bilapun sertifikat itu diterbitkan saat areal tersebut APL berdasarkan peta kawasan hutan provinsi, maka kalau kemudian lokasi tersebut berubah jadi kawasan hutan (bisa disebabkan karena tata batas ataupun karena usulan RTRWP), maka dapat dilakukan perubahan batas.

''Bisa dikeluarkan dari kawasan hutan dan dikembalikan menjadi APL. Itu aturan yang sudah tertulis dan seharusnya tidak ada masalah. Hanya tinggal pembuktian saja, apakah sertifikat itu terbit saat lokasinya berada pada kawasan hutan atau bukan,'' kata Riko.

Dengan begitu menurut Riko, apa yang disampaikan oleh Menteri ATR/BPN di senayan, jelas kurang tepat dengan situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Kalaupun ada persoalan lintas kementerian, secara etika birokrasi dinilai tidak tepat untuk saling 'lempar batu sembunyi tangan'.

''Karena yang sering bermasalah soal tapal batas ini justru Kementerian ATR/BPN. Seperti di Taman Nasional Tesso Nilo ada beberapa persil surat tanah yang dicabut kembali karena diberikan oleh BPN tanpa melihat status kawasan konservasi, akhirnya surat tanahnya diambil kembali dan dijadikan kawasan konservasi lagi. Kejadian menerbitkan sertifikat dalam kawasan hutan jelas menimbulkan konflik tenurial,'' kata Riko

Kementerian ATR/BPN didorong untuk bisa bekerjasama dengan Kementerian LHK menyelesaikan tumpang tindih administratif tapal batas, sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku, dengan tetap mengedepankan etika birokrasi di kalangan pejabat pemerintahan.

''Daripada sekedar menyalahkan kolega sesama menteri, alangkah lebih baik kolaborasi kerja tuntaskan segera berbagai persoalan pertanahan yang masih menjadi PR berat pemerintahan Jokowi,'' tutup Riko.