Apa Fahri Hamzah Lupa Ada Dana Negara di BUMN yang Harus Diawasi DPR?
JAKARTA - Usulan Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah agar DPR RI tak perlu melakukan rapat dengan direksi BUMN ditanggapi anggota dewan. Menyusul hebohnya soal pengusiran mitra kerja dalam rapat kerja di Parlemen.
Anggota Komisi VI DPR RI fraksi PPP Achmad Baidowi, menjelaskan bahwa BUMN perlu diawasi melalui rapat kerja. Dia lantas mempertanyakan apakah mantan wakil ketua DPR itu lupa akan hal tersebut.
"Apa Fahri lupa bahwa BUMN itu ada dana negara yang harus dilakukan pengawasan oleh DPR? Salah satu tugas pokok dan fungsi DPR itu salah satunya adalah pengawasan selain penganggaran dan legislasi," ujar Baidowi kepada wartawan, Selasa, 16 Februari.
Sekretaris Fraksi PPP DPR itu menegaskan, pengawasan yang dilakukan DPR terhadap BUMN adalah wajib guna meminta penjelasan mengenai hasil kinerja secara profesional.
"Maka setiap DPR melakukan pengawasan ya wajib hukumnya untuk diikuti. Kita tidak ada neko apa-apa, ya kalaupun datang BUMN-nya datang secara profesional, menjelaskan secara terbuka atau secara tertutup," tegasnya.
Pria yang akrab disapa Awiek itu kemudian menyinggung Fahri Hamzah yang pernah menjadi pimpinan DPR. Selama menjabat, dia menyebut Fahri Hamzah tak pernah melarang direksi BUMN melayani DPR dalam konteks rapat.
"Sehingga proporsional yang diminta oleh DPR ya saya kita nggak ada masalah, toh Pak Fahri pernah menjadi anggota DPR, bahkan pimpinan DPR. Selama memimpin DPR apa melarang direksi BUMN melayani DPR dalam konteks rapat kerja ataupun rapat dengar pendapat? Saya kira tidak fair-lah, apalagi DPR itu tidak neko-neko, hanya melakukan fungsi pengawasan," pungkasnya.
Baca juga:
Sebelumnya, Fahri mengusulkan agar rapat komisi dan badan (alat kelengkapan dewan/AKD) di DPR yang mengundang BUMN dihentikan saja karena dianggap lebih banyak berimbas buruk.
Fahri menyampaikan usul tersebut melalui Twitter resminya, @Fahrihamzah, Selasa, 15 Februari. Fahri menilai rapat dengan BUMN di DPR justru membuat pejabat perusahaan 'pelat merah' itu jadi bermental politik, yang berimbas terhadap rusaknya profesionalisme direksinya.
"Direksi BUMN adalah pejabat bisnis bukan pejabat politik. Membiasakan mereka rapat di @DPR_RI membuat mereka bermental politik. Inilah akar dari rusaknya professionalism di BUMN. Mereka dipaksa melayani kepentingan politik eksekutif dan legislatif. Budaya korporasi rusak!" kata Fahri.
Mantan Wakil Ketua DPR itu menyebut BUMN tak perlu melayani DPR. Kalaupun ingin rapat kerja, Fahri menyarankan agar DPR hanya boleh memanggil komisaris BUMN dan tak berbicara soal teknis.
"Jadi Direksi BUMN tidak perlu melayani @DPR_RI dalam rapat kerja karena mereka korporasi. Kalau ada rapat kerja ya kuasa ada di @KemenBUMN. Kalau mau manggil korporasi ya harusnya diwakili komisaris dan itu hanya terkait isu negara dengan kuasa pemegang saham. Bukan teknis!"
Fahri juga menjelaskan alasan mengapa komisi atau badan di DPR tak membahas teknis di depan umum. Selain menjaga kerahasiaan perusahaan, Fahri melihat pembahasannya tak jelas.
"Tidak fair membedah BUMN di depan umum oleh politisi sementara mereka punya pesaing yang selalu mengintip dapur mereka. Sementara itu, tidak jelas juga yang dibahas. Beda dengan rapat penyelidikan angket misalnya. Itu bebas. Jangankan BUMN, Presiden aja bisa dipanggil," kata Fahri.
Karena itu, Fahri mengusulkan agar rapat komisi atau badan di DPR dihentikan saja. Sebab, sebut dia, terlalu banyak efek buruknya untuk BUMN.
"Jadi sebaiknya dihentikan, terlalu banyak efek buruknya bagi @DPR_RI dan terlebih lagi bagi BUMN. Mereka harus didorong bekerja murni sebagai profesional. Jangan terlalu banyak politik yg bisa membuat wajah BUMN samar dan tidak jelas. Politisasi BUMN ini sudah terbukti jelek," katanya.