Jangan Lupa, 12 Tahun Lalu Sengkarut Kartel Minyak Goreng di Indonesia Juga Mencuat

JAKARTA - Masalah harga minyak goreng yang melambung masih terus menghantui masyarakat di Indonesia. Sudah sejak akhir 2021 persoalan barang yang lekat dengan urusan dapur ini tak kunjung menemukan solusi. Kebijakan yang diambil pemerintah dengan menetapkan Harga Eceran Tetinggi Rp 14 ribu seperti dianggap angin.

Harga minyak goreng tidak kunjung turun, malah bertambah masalah lagi karena menjadi langka. Kondisi tersebut lantas memunculkan dugaan bahwa ada permainan kartel yang membuat salah satu produk turunan dari minyak sawit tersebut jadi mahal, bahkan lenyap di pasaran.

Padahal Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia. Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi CPO Indonesia terus meningkat antara 2017-2019.

Tahun 2017 produksi CPO Indonesia menunjukkan angka 38,16 juta ton. Jumlah tersebut meningkat terus: 43,1 juta ton (2018), 47,18 juta ton (2019). Tahun 2020 produksi CPO sedikit menurun dengan angka 47,03 juta ton, dan menjadi 46,88 juta ton pada 2021.

Panen kelapa sawit. (Foto: Dok. WWF)

Selain produsen terbesar, Indonesia juga merupakan eksportir minyak sawit mentah nomor satu di dunia. Tetapi kemudian Pemerintah Indonesia berencana untuk mengurangi ekspor minyak sawit mentah, dan menggantikan dengan ekspor produk turunan minyak sawit mentah yang salah satunya adalah minyak goreng.

KPPU dan Kemendag Tidak Kompak

Kembali ke masalah dugaan peranan kartel dalam kasus kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng di Indonesia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)adalah pihak yang pertama berteriak bahwa diduga kartel bermain, sehingga muncul gejolak soal minyak goreng.

"Ini perusahaan minyak goreng relatif menaikkan harga secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi 'kartel'," kata Komisioner KPPU Ukay Karyadi, 20 Januari 2022.

Berdasarkan data consentration ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, terlihat bahwa sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin dan minyak goreng.

Logo Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia/KPPU. (Foto: Antara)

Indikasi ada permainan kartel (hubungan antara beberapa pengusaha atau produsen dalam hal produksi hingga pemasaran, dengan tujuan menetapkan harga untuk membatasi pasokan dan kompetisi) yang dilontarkan KPPU justru dibantah Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).

"Kok baru dideteksi sekarang ada persaingan tidak sehat, oligopoli? Harusnya sudah terjadi sudah lama, bahkan KPPU belum terbentuk pun (industri) sawit ini sudah jalan. Cuma karena harga minyak goreng naik tinggi, jadi seolah-olah dari hulu sampai hilir harus dibenahi. Tatanan internasional yang dibangun Indonesia itu kita rombak semua, tidak begitu menurut saya," kata Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Kamis 3 Februari.

Kasus 20 Produsen Minyak Goreng

Ada ungkapan satire yang mengatakan bahwa: orang Indonesia adalah pemaaf, sekaligus pelupa. Itu yang terjadi dalam kasus dugaan permainan kartel dalam kisruh minyak goreng di negeri ini.

Berdasarkan data dari portal Kemendag tentang Komoditas Minyak Goreng tertanggal 4 Februari 2011, praktek kartel pernah terjadi dalam urusan perminyak gorengan di Indonesia. Dalam laporan setebal 84 halaman yang bisa diakses secara daring tersebut, peran kartel dicantumkan pada halaman 41, Bab 4 Pasar dan Distribusi Domestik, pasal 4.1: Struktur Pasar Lokal.

Antrean warga di Pasar Kramat Jati membeli minyak goreng murah/ Foto: Rizky Sulistio/ VOI

Pada bagian tersebut dituliskan: “Pemerintah diminta mengintervensi sistem distribusi minyak goreng melalui pembenahan tata niaga dan penentuan batas atas untuk menjaga stabilisasi harga. Saat ini distribusi minyak goreng dilakukan sendiri oleh produsen. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjelaskan minyak goreng termasuk dalam kategori struktur pasar oligopolistik di mana ada persaingan yang tidak sempurna, hingga saat ini masih ditengarai adanya dugaan kartel minyak goreng sehingga harga komoditas tersebut terus naik”.

Pada Mei 2010, KPPU pernah menghukum 20 produsen minyak goreng, dengan mengharuskan pembayaran denda total sebesar Rp299 miliar karena terbukti membentuk kartel. Kartel dibentuk dengan tujuan mengatur harga minyak goreng.

Dalam putusan KPPU tersebut disebutkan bahwa hanya PT Nagamas Palmoil Lestari yang tidak melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sebanyak 18 perusahaan yang terbukti melanggar pasal 5, yaitu larangan membuat perjanjian dengan pesaing untuk menetapkan harga jual produk minyak goreng curah adalah: PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Agrindo Indah Persada, PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Megasurya Mas, PT Agro Makmur Raya, PT Miko Oleo Nabati Industri, PT Indo Karya Internusa, PT Permata Hijau Sawit, PT Nubika Jaya, PT Smart Tbk, PT Tunas Baru Lampung, PT Berlian Eka Sakti Tangguh, PT Pasific Palmindo Industri, dan PT Asian Agro Agung Jaya.

Sebanyak sembilan perusahaan dihukum karena melanggar pasal yang sama untuk pasar minyak goreng kemasan, yaitu: PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Miki Oleo Nabati Industri, PT Smart Tbk, PT Salim Ivomas Pratama, PT Bina Karya Prima, PT Tunas Baru Lampung, dan PT Asian Agro Agung Jaya. PT Salim Ivomas Utama dan PT Bina Karya Prima tidak terlibat dalam kartel minyak goreng curah.

Minyak goreng curah. (Foto: Antara)

Kesembilan perusahaan tersebut terbukti melanggar pasal 11 UU No.5 tahun 1999, yang melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaingnya untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi maupun pemasaran barang. Sehingga mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Dua puluh perusahaan yang teribat kartel minyak goreng tersebut didenda sebesar Rp 1 miliar hingga Rp25 miliar. Praktek kartel ke-20 perusahaan tersebut menimbulkan kerugian bagi konsumen hingga Rp1,5 triliun sepanjang April-Desember 2008.

Kalah di Pengadilan

Kelompok 20 produsen minyak goreng tersebut membawa kasus ini ke pengadilan, untuk melawan keputusan KPPU. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan mereka pada 24 Februari 2011, dan memutuskan agar KPPU membatalkan keputusan tentang kartel minyak goreng.

Dasar KPPU menjatuhkan hukuman dipandang kurang kuat, karena hanya berlandaskan bukti tidak langsung. Cara tersebut tak dapat digunakan dalam hukum persaingan di Indonesia.

KPPU mengajukan kasasi atas keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut ke Mahkamah Agung. Tetapi lagi-lagi KPPU kalah, setelah permohonan kasasi yang diajukan ditolak Mahkamah Agung.

Jadi kalau sekarang kembali muncul dugaan indikasi praktik kartel dalam kekisruhan minyak goreng di Indonesia, itu wajar karena memang pernah terjadi.