Ilmuwan Afrika Selatan akan Pelajari Hubungan antara Varian COVID-19 dengan HIV

JAKARTA - Ilmuwan terkemuka Afrika Selatan akan menyelidiki COVID-19 dan HIV secara bersamaan, di tengah semakin banyaknya bukti tabrakan keduanya dapat menghasilkan varian virus corona baru.

Tim di Network for Genomic Surveillance di Afrika Selatan (NGS-SA), yang pertama kali memperingatkan dunia tentang varian Omicron COVID-19, mengatakan sudah waktunya untuk penyelidikan 'sistematis' tentang apa yang terjadi, ketika pasien dengan HIV yang tidak diobati terifeksi COVID-19.

Sejumlah penelitian, termasuk yang diterbitkan oleh tim minggu lalu, telah menemukan orang dengan sistem kekebalan yang lemah, seperti pasien dengan HIV yang tidak diobati, dapat menderita infeksi virus corona terus-menerus, seringkali selama berbulan-bulan.

Virus tetap berada dalam sistem mereka dan mengakumulasi mutasi, beberapa di antaranya mungkin memberikan keuntungan.

Beberapa peneliti percaya, ini bisa jadi bagaimana Omicron dan beberapa varian COVID lainnya berkembang, meskipun ilmuwan lain percaya itu mungkin muncul pada hewan sebelum menyebar kembali ke manusia.

Tongai Maponga, penulis utama makalah baru-baru ini dan seorang peneliti di Universitas Stellenbosch mengatakan, dia dan rekan-rekannya di NGS-SA sedang mendiskusikan studi yang lebih mendalam untuk mendukung hipotesis tersebut.

"Beberapa kasus yang sejauh ini telah dilihat dan dijelaskan terjadi hanya karena pengawasan acak," katanya kepada Reuters, seperti dikutip 2 Februari.

"Tetapi saya pikir kami akan segera melakukan sesuatu yang lebih sistematis untuk melihat secara khusus pada pasien HIV dengan sistem kekebalan yang parah ini, untuk melihat apa yang terjadi," lanjutnya.

Dia mengatakan pekerjaan akan fokus pada dua elemen: pada pasien dan bagaimana sistem mereka menangani infeksi COVID-19, dan untuk membuktikan apakah varian baru kemungkinan akan muncul dengan cara ini.

"Jika itu masalahnya, kami perlu meningkatkan permainan kami dengan cara kami mendiagnosis orang-orang ini, dan memastikan bahwa mereka mendapatkan diagnosis dan perawatan yang cepat," tambahnya.

Sementara itu, Saoirse Fitzpatrick, manajer advokasi di StopAids mengatakan, pandemi telah 'sangat' berdampak pada tes HIV secara global, tetapi penting untuk mengatasi kedua tantangan kesehatan masyarakat.

"Tanggapan COVID yang mengabaikan tanggapan HIV bukanlah pendekatan kesehatan masyarakat yang memadai," jelasnya. Tidak jelas berapa banyak pasien yang terlibat pada tahap ini.

Afrika Selatan diketahui memiliki epidemi HIV terbesar di dunia, dengan 8,2 juta orang terinfeksi. Hanya sekitar 71 persen orang dewasa dan 45 persen anak-anak, yang dirawat.

"Kita harus menegaskan kembali bahwa kita tidak ingin menimbulkan stigma yang tidak perlu seputar HIV - ini adalah risiko yang kita ambil dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi saya pikir kita perlu mempertimbangkannya," tambahnya.