Mengenal Efek White Lies pada Anak, Berbohong untuk Kebaikan Ternyata Buruk

JAKARTA – Pernahkah membujuk anak dengan kebohongan agar nurut arahan orang tua? Misalnya, mengatakan ‘makanlah yang banyak biar kuat seperti Superman’. Ini tak disadari sebagai sebuah kebohongan tetapi penjelasan tersebut menyederhanakan sebab dan akibat dari makan. Tidak selalu dengan makan banyak jadi kuat, dan makan sedikit jadi lemah. Kebohongan semacam ini dikenal dengan white lies, berkata bohong demi mendapatkan tujuan yang baik.

Berbohong untuk hal sepele, contoh lainnya ketika diberitahu mereka akan bermain di taman tetapi ternyata ke dokter gigi. Sering mengucapkan kalimat yang tidak sesuai dengan fakta tidak hanya menciptakan masalah untuk masa depan tetapi juga memengaruhi masa kanak-kanaknya. Dilansir Bright Side, Kamis, 27 Januari, mengatakan bohong menunjukkan bahwa mereka dapat terpengaruh oleh hal ini. Efek buruknya, berikut di bawah ini.

Membuat anak Anda cemas

Penelitian telah menunjukkan bahwa kecemasan dan kebohongan berjalan beriringan seiring ketika orang tua berbohong kepada anak-anak mereka. Alasannya untuk melakukan white lies mungkin banyak sekali, tetapi tujuannya agar anak-anak patuh atau melakukan hal baik.

Memengaruhi hubungan Anda dengan buah hati

Ikatan antara orang tua dan anaknya seringkali melemah karena kebohongan. Pada awal mengatakan hal yang tidak berdasarkan fakta, misalnya keseringan main gawai membuat mata jadi kotak, anak-anak mungkin akan percaya. Tetapi begitu mereka menemukan kebenaran maka rasa kecewa dan masalah kepercayaan bisa dialami oleh anak-anak.

Anak-anak meniru orangtuanya

Orang tua adalah orang yang paling dekat dan dipercaya oleh anak-anak. Jika mereka dibohongi, mereka cenderung menyembunyikan kebenaran dari orang tua mereka. Alih-alih berbohong, orang tua harus mencoba menjelaskan berdasarkan nalar serta logika. Kejujuran dan kebenaran, bagi anak-anak bermakna untuk masa depannya. Mereka bisa merasa cukup percaya diri untuk menceritakan masalah mereka pada orang tuanya atau menyelesaikannya secara tepat.

Mengutip Unair News, dosen psikologi di Universitas Airlangga, Dr Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes., mengatakan bahwa bahasa yang tidak menyakiti hati anak dan cara berkomunikasi yang baik lebih bisa diterima oleh anak alih-alih berbohong demi kebaikan. Sarannya, cobalah untuk berkomunikasi secara terbuka, soalnya ketika anak-anak mengetahui kalau orangtuanya berbohong maka ia akan mengambil jarak.

Orang tua adalah sumber informasi yang dianggap valid oleh anak-anaknya. Tatkala diwarnai kebohongan, dan dilakukan sering, bukan tak mungkin anak jadi ragu dan cenderung melakukan hal yang sama, yaitu berbohong untuk membangun jarak aman.