Perjalanan 16 Tahun KPK yang Penuh Nestapa
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memasuki usia 16 tahun. Layaknya anak remaja yang beranjak dewasa KPK telah melalui beragam halangan dan rintangan dalam memberantas korupsi di negeri ini.
Lembaga antirasuah ini pun sudah memiliki pemimpin baru dan dewan pengawas, untuk memperhatikan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Ketua KPK yang baru Firli Bahuri, akan menjadi nahkoda dalam memimpin kapal besar lembaga antirasuah di negeri ini.
"Seluruh awak dan penumpang kapal tidak membuat kegaduhan sehingga kapal besar tadi siap mengarungi samudra, menerobos ombak dan gelombang serta badai," kata Firli dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 29 Desember.
Firli boleh saja merasa optimis dengan bertambahnya usia KPK. Tapi tidak dengan Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana justru menilai ulang tahun lembaga antirasuah ini penuh duka.
"Di hari ulang tahun KPK, justru publik harus berduka karena KPK sebenarnya sudah berhasil dilumpuhkan oleh Pemerintah dan DPR," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana di Jakarta, Minggu, 29 Desember.
Bukan cuma penuh duka, aktivis antikorupsi ini juga secara tegas mengatakan 2019 merupakan tahun nyata kehancuran KPK yang disponsori langsung oleh Presiden Joko Widodo serta anggota DPR RI periode 2014-2019 dan periode 2019-2024.
Andilnya Jokowi dalam menjerumuskan KPK ke dalam kehancuran terbukti dengan adanya panitia seleksi (pansel) calon pimpinan KPK yang kemudian menuai polemik.
Sebab, dari sembilan anggota pansel, tiga diantaranya ternyata punya kedekatan dengan lembaga kepolisian. Selain itu, Kurnia juga menilai, proses seleksi yang dilakukan pansel terhadap calon pimpinan KPK periode 2019-2023 tidak punya sesuai dengan nilai integritas.
Buktinya jelas, menurut Kurnia, hingga saat ini ada satu pimpinan KPK yang sudah dilantik saat ini tapi masih belum melaporkan harta kekayaannya lewat LHKPN. Selain itu, pelanggar kode etik juga ternyata bisa lolos dalam seleksi tersebut.
"Itu catatan krusialnya terkait dengan rekam jejak. Istana dan DPR berhasil meloloskan figur terduga pelanggar kode etik," ungkap Kurnia.
Tak sampai di situ, Kurnia juga turut menuding Jokowi melakukan pelanggaran perundangan karena melantik salah satu pimpinan KPK yaitu Nurul Ghufron yang usianya belum genap 50 tahun, sesuai dengan UU KPK. "Kehadiran Nurul Ghuffron sebagai pimpinan KPK itu melanggar peraturan perundangan," tegas dia.
ICW juga memastikan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK menjadi regulasi yang membahayakan lembaga antirasuah itu ke depan. Salah satunya adalah terkait Dewan Pengawas dan Peraturan Presiden.
Menurut Kurnia, saat ini Jokowi tengah berupaya membangun narasi orang baik dalam sebuah sistem. Orang baik ini, ditunjukkan dengan memilih Tumpak Hatorangan Panggabean, Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, dan Syamsuddin Haris sebagai Dewan Pengawas KPK.
Pemilihan ini, kata Kurnia, sengaja dilakukan agar mendapat apresiasi publik dan seakan ingin menunjukkan tak ada masalah apapun dengan adanya dewan yang baru pertama kali terbentuk tersebut.
"Tapi kita pandang justru sebaliknya. Siapapun yang mengisi pos di dalam Dewan Pengawas itu justru akan membahayakan KPK karena proses penindakan KPK akan tetap berjalan lamban dengan hadirnya UU Nomor 19 tahun 2019," jelasnya.
Selain isu soal Dewas KPK berisi orang baik, Kurnia juga mengatakan, pemerintahan Jokowi juga sengaja membangun narasi soal hukuman mati bagi terpidana korupsi. Wacana ini, menurutnya bakal digunakan Istana untuk menggeser perdebatan soal Perppu KPK.
Berkaca dari belum terbitnya Perppu KPK untuk menyelamatkan lembaga tersebut, Kurnia sepakat jika Jokowi telah ingkar janji. Apalagi, sebelumnya Jokowi pernah menimbang akan mengeluarkan Perppu. "Presiden saat ini seakan lari dari masalah dan tidak memberi solusi apapun kepada masyarakat setelah menghancurkan KPK," tutupnya.