Natal dan Tahun Baru Sudah Lewat tapi Harga Minyak Goreng Masih Mahal, Tulus Abadi YLKI: Ada Praktik Kartel, Ini Memang Bukan Efek Nataru

JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengendus adanya praktik kartel di balik harga minyak goreng yang melambung tinggi sejak akhir tahun lalu. Menurut dia, ini merupakan ironi di tengah fakta bahwa Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar.

Seperti diketahui, harga minyak goreng hingga kini masih dijual mahal meskipun telah melewati periode Natal 2021 dan Tahun Baru 2022. Kenaikan harga terjadi baik jenis curah maupun kemasan.

"Saya menganggap ini ada dugaan kartel atau praktik persaingan usaha tidak sehat lainnya. Sehingga, sangat mendistorsi pasar baik dari sisi harga dan pasokan minyak goreng," katanya kepada wartawan, Jumat, 14 Januari.

Lebih lanjut, Tulus mengatakan bahwa indikasi kuat terjadinya praktik kartel tersebut lantaran kenaikan harga minyak goreng saat ini di luar batas kewajaran. Ia pun tidak sepakat jika dikatakan kenaikan harga disebabkan efek dari momen Natal 2021 dan Tahun Baru 2022.

"Sejak awal saya menduga dengan kuat bahwa ini bukan karena efek Nataru, karena kalau efek Nataru kenaikannya tidak gila-gilaan atau di luar batas kewajaran," ucapnya.

Karena itu, Tulus menilai tidak ada korelasinya periode Natal dan Tahun Baru 2022 dengan kenaikan harga minyak goreng. Sebab, kenaikan harga berbasis CPO tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama bahkan telah melewati periode tersebut.

"Sampai Nataru selesai juga harga minyak goreng masih tetap tinggi," jelasnya.

Tulus juga menilai upaya pemerintah mengintervensi agar harga minyak goreng turun di pasaran dengan menggelontorkan minyak goreng subsidi merupakan hal yang sia-sia. Bahkan tidak dapat menyelesaikan masalah.

"Subsidi sebesar Rp3,5 triliun agar minyak goreng turun itu tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan mungkin merupakan bentuk buang-buang uang saja. Karena sebenarnya penyakit intinya bukan itu saja," ucapnya.

Karena itu, Tulus mengatakan YLKI mendesak pemerintah untuk segera membongkar dugaan adanya praktik kartel di balik lonjakan harga minyak goreng yang terjadi hingga saat ini. Mengingat kenaikan harga komoditas pangan tersebut telah membebani masyarakat selaku konsumen.

"Pemerintah harus mengendus dan membongkar adanya dugaan kartel terhadap bisnis CPO dan bisnis minyak goreng di Indonesia. Karena itu kita meminta agar pemerintah bukan hanya mengguyur dari sisi harga dengan subsidi yang Rp3,5 triliun itu, juga membongkar praktik-praktik yang sangat merugikan pasar dan kemudian endingnya adalah konsumen," katanya.

Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan memulai operasi pasar minyak goreng kemasan sederhana bersubsidi mulai pekan ini. Minyak goreng tersebut bakal dibanderol dengan harga Rp14.000 per liter. Pasokan minyak goreng subsidi tersebut akan disalurkan ke pasar tradisional maupun ritel modern.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan tidak ada wilayah yang menjadi prioritas dalam penyaluran. Artinya semua daerah di Indonesia akan mendapatkan pasokan yang sama. Langkah ini sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam menekan harga minyak goreng yang meningkat.

"Kita akan mulai minggu ini, pasti minggu ini. Wilayahnya semua di seluruh Indonesia, paling tidak di pasar-pasar yang dipantau oleh Kemendag, 216 pasar," katanya, saat ditemui di Jakarta, Rabu, 12 Januari.

Sebagai informasi, pemerintah akan mensubsidi sebanyak 1,2 miliar liter minyak goreng untuk enam bulan ke depan. Minyak goreng bersubsidi tersebut akan dijual seharga Rp14 ribu per liter. Adapun total dana yang digunakan untuk mensubsidi sebanyak Rp3,6 triliun yang bersumber dari dana pungutan ekspor sawit di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

"Mekanismenya menggunakan mekanisme BPDPKS, kira-kira kita akan mensubsidi sekitar Rp3.000. Kita siapkan buat 1,2 miliar liter untuk enam bulan pertama tahun 2022. Saya jamin harga akan di Rp14 ribu," tuturnya.