Perekonomian Berangsur Pulih, Berikut Ini Dampaknya pada Sektor Energi di 2022

JAKARTA - Perekonomian global sedang mengalami pemulihan pada 2022 setelah dua tahun melemah akibat pandemi COVID-19, hal ini tentu akan berpengaruh pada sektor energi. Kondisi tersebut pun harus disikapi dengan cermat.

Komisaris Utama PGN Arcandra Tahar mengatakan, terdapat beberapa aspek penting yang mempengaruhi sektor energi ekonomi global pada tahun 2022. Pertama adalah konsumsi energi pada tahun 2022 akan kembali pulih seperti sebelum pandemi COVID-19. Seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi setelah lesu selama 2 tahun akibat pandemi COVID-19.

Jika kehadiran varian baru COVID-19 dapat ditangani dengan baik, maka konsumsi minyak akan berada di level 100 juta barel per hari (bph), sama seperti sebelum pandemi. Untuk harga minyak diperkirakan berada di level 65-80 dolar AS per barel.

"Berikutnya yang mempengaruhi harga jika OPEC+ tidak menaikkan produksi minyak, maka harga minyak Brent diperkirakan berada pada level 65-80 per barrel," kata Arcandra, Kamis 13 Januari.

Berikutnya adalah kenaikan harga batu bara pada 2022, ini diakibatkan permintaan batu bara China dan India sebagai konsumen besar komoditas tersebut. Namun, jika pakta pertahanan (AUKUS) antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat membaik, maka harga batu bara kemungkinan bisa kembali melandai.

Sektor energi yang terpengaruh berikutnya adalah, perusahaan minyak dan gas (migas) Amerika Serikat yang akan menjual asetnya di luar negeri dan berinvestasi di negaranya. Ini merupakan strategi untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi rendah karbon, dan akan lebih mudah dilakukan di AS. Proses bisnis dan regulasi yang jelas di AS menjadi pertimbangan dalam konsolidasi aset ini.

"Banyak aset yang dijual tidak hanya di Indonesia juga ada di negara lain, coba perhatikan ini bukan terkait apakah ada peraturan sebuah negara yang berubah sehingga membuat mereka cabut, ada yang lebih penting tekanan shareholder untuk bisnis di AS," ujarnya.

Arcandra melanjutkan, energi terbarukan juga akan tumbuh seiring dengan penerapan pajak karbon atau penjualan karbon karbon. Beberapa negara membuat kebijakan tersebut pada 2022.

Selain itu, kesepakatan global dalam Conference of Parties (COP) ke-26 untuk menargetkan Net Zero Emission pada 2060, kondisi ini menuntut penghentian pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk menekan emisi.

Menurut Arcandra, untuk mencukupi kebutuhan energi yang terus meningkat di tengah pengurangan emisi, gas bumi akan menjadi andalan pada masa transisi energi. Pasalnya, meski energi fosil gas bumi rendah emisi dan efisien.

“Di tengah tekanan dan tuntutan terhadap green energy, gas bumi sebagai energi bersih akan memegang peranan penting sebagai energi transisi. PGN dapat mengoptimalkan peluang itu, baik di domestik maupun global,” jelas Arcandra.

Direktur Utama Lembaga Perbankan Indonesia Mirza Adityaswara mengungkapkan, dalam masa pemulihan ini hampir semua negara di dunia akan melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi. Termasuk kebijakan pada sektor energi.

“Kehadiran energi yang efisien dan bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor akan menjadi sangat penting bagi ketahanan ekonomi nasional,” tutupnya.