Menimbang Pertandingan Tinju sebagai Solusi Alternatif Masalah Tawuran Pelajar di Ibu Kota
JAKARTA - Seorang warga Tanah Abang, Ani, meminta Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil untuk menyediakan fasilitas arena pertandingan olahraga tinju di wilayah Tanah Abang. Harapannya untuk mencegah tawuran yang kerap terjadi di wilayah tersebut.
"Di Tanah Abang ini hampir tiap malem pak tawuran. Bisa kaga itu dibikinin boxing-boxing begitu pak yang anak-anak. Yang tinju gitu pak," kata Ani.
Ani berharap usulan tersebut bisa direalisasikan oleh Polda Metro Jaya untuk mencegah aksi tawuran kembali terjadi di wilayah Tanah Abang. "Dibuat pertandingan tinju pak. Daripada satu lawan 10, mending satu-satu pak. Ketahuan bonyok, bonok semua."
Lewat akun instagramnya, Kapolda Metro Jaya menyebut akan menampung ide dari Ani. "Itu, tonjok-tonjokan itu? Iya iya," kata Irjen Fadil.
Mengurai masalah
Tawuran atau perkelahian antar pelajar merupakan fenomena yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Dalam catatan kepolisian bahkan, aksi saling gebuk sudah terjadi sejak 1968. Dalam surat kabar Kompas edisi 29 Juni 1968, pernah memuat artikel bertajuk "Bentrokan Peladjar Berdarah".
Perkelahian pelajar tahun 1968 itu membuat Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, memberikan peringatan keras terhadap pelajar yang terlibat perkelahian tersebut. Polda Metro Jaya bahkan mencatat perkelahian pelajar sudah semarak semenjak 1984 dengan jumlah 386 kasus, kemudian pada 1999 tercatat ada 193 kasus dengan korban meninggal sebanyak 37 orang.
Sementara itu dalam satu dekade terakhir, kasus tawuran tak pernah surut. Data Litbang TV One mencatat pada 2010 terdapat 128 kasus tawuran antar pelajar.
Setahun berikutnya jumlahnya meningkat 100 persen yakni mencapai 330 kasus dengan korban meninggal sebanyak 82 orang pelajar. Dan pada 2012, setidaknya telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar. Dari data tersebut setidaknya bisa terlihat bahwa aksi tawuran dari tahun ketahun hampir selalu ada.
Sonia Awalokita, dalam tesisnya yang berjudul Resolusi Konflik Tawuran Pelajar Antara SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 Jakarta (2017) menjelaskan, tawuran pelajar secara psikologis dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja. Secara teoritis, perkelahian dapat digolongkan ke dalam dua jenis delikuensi --perilaku buruk remaja-- yakni delikuensi situasional dan sistemik.
Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi. Kecenderungan itu bisa muncul akibat adanya keinginan untuk memecahkan masalah secara cepat. Smeentara pada delikunsi sistemik, pelajar yang terlibat dalam perkelahian itu berada dalam organisasi tertentu atau komunitas atau geng tertentu yang memiliki sejumlah aturan, norma, atau kebiasaan yang harus diikuti anggotanya.
Sebetulnya sudah banyak penelitian yang mengkaji tentang tawuran pelajar khususnya di Jakarta. Namun, Sonia menilai, ketidaktepatan antara permasalahan dan hasil kajian membuat penelitian tidak dapat mengungkap akar masalah sebenarnya.
Misalnya saja penelitian yang ditulis Tikka Aprilomanda pada 1993. Kesimpulan penelitian itu menyebut bahwa tak ada hubungan yang signifikan antara sosialisasai dalam keluarga dengan perilaku individu yang terlibat dalam tawuran pelajar. Ia juga menyimpulkan bahwa tawuran tak berkorelasi dengan interaksi sosial antara kelompok teman sebayanya.
Sementara itu umumnya penelitian mengenai perkelahian pelajar melihat hal itu sebagai kenakalan remaja, perilaku bermasalah, frustasi, agresi, dan ada juga sudut pandang yuridis. Tapi, menurut Sonia, dari berbagai penelitian itu ada beberapa hal yang tidak diungkap secara tuntas.
Sonia berpendapat bahwa faktor penyebab perkelahian antar pelajar sekolah yang terjadi di Jakarta tak bisa disamaratakan. "Oleh karenanya model penyelesaiannya juga harus berdasarkan latar belakang yang ada disekolah tersebut."
Dalam penelitiannya, Sonia secara spesifik mengurai masalah tawuran yang terjadi antara pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 Jakarta. Menurutnya tawuran yang terjadi antara dua sekolah itu adalah konflik terbuka yang telah terjadi sejak puluhan tahun silam.
Dan salah satu solusi yang Sonia tawarkan dalam kasus tersebut adalah perlunya pendekatan resolusi konflik. Apa maksudnya? Resolusi konflik membahas berbagai penyebab konflik dan mencoba membangun hubungan baru dan abadi diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
"Resolusi konflik dilakukan dalam lembaga pendidikan dengan menginternalisasikan nilai-nilai religius ke dalam budaya sekolah melalui pendidikan karakter. Serta resosialisasi pelaku tawuran pelajar hal ini dimaksudkan agar pelaku tawuran pelajar tidak kembali terlibat dalam tawuran pelajar serta membangun hubungan baru yang abadi di antara kelompok yang bermusuhan."
*Baca Informasi lain tentang PENELITIAN baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Jika Anak Gede Boleh Enggak Suka Anak Kecil, Bolehkah Anak Kecil Enggak Suka Anak Gede?
- Indonesia Perlu Belajar Membangun Ekosistem Riset dari Jepang dan Australia
- Kemajuan Pengetahuan Apa yang Diharapkan dari Negara dengan Anggaran Influencer Lebih Besar dari Dana Riset?
- Terserah Jika Semua Orang di Dunia Ini Tak Punya Resolusi 2022. Buat Polisi Resolusi Berorientasi Pembenahan Rasanya Perlu