Ajukan Keberatan Soal Dakwaan TPPU, KPK Sebut Yudi Widiana Tak Paham Ketentuan Undang-Undang

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut mantan Ketua Komisi V DPR RI, Yudi Widiana Adia yang jadi terdakwa Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tak paham ketentuan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.

Hal ini disampaikan untuk menanggapi keberatan yang disampaikan Yudi saat membacakan eksepsi atau keberatannya pada hari ini atau Rabu, 5 Januari.

Dalam keberatan itu, dia mengatakan KPK tidak berwenang melakukan penyidikan maupun penuntutan TPPU dan tak tercantumnya UU Tipikor pada surat dakwaan.

"Kami berpendapat terdakwa tidak memahami ketentuan UU KPK, UU Tipikor maupun UU TPPU secara utuh dan lengkap," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan, Rabu, 5 Januari.

Selanjutnya, KPK akan segera menyusun tanggapan untuk menjawab eksepsi yang disampaikan Yudi Widiana. Apalagi, Ali bilang, proses penyidikan maupun penyusunan dakwaan yang dilakukan jaksa penuntut umum (JPU) sudah sesuai.

"Kami meyakini bahwa seluruh proses penyidikan maupun penyusunan surat dakwaan tim Jaksa KPK telah disusun sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku," ungkapnya.

Lebih lanjut, komisi antirasuah juga yakin keberatan Yudi sebagai terdakwa akan ditolak hakim.

"Kami optimis keberatan terdakwa akan ditolak majelis hakim karena seluruhnya telah masuk pokok perkara yang perlu pembuktian lebih lanjut," ujar Ali.

Sebelumnya, KPK menetapkan Yudi Widiana sebagai tersangka TPPU pada Februari 2018 lalu. dia diduga menerima sekitar Rp20 miliar saat menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi V DPR dari proyek-proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Maluku, Maluku Utara, dan Kalimantan.

KPK melakukan penelusuran dan menemukan uang sekitar Rp20 miliar itu diduga disimpan Yudi secara tunai atau telah diubah menjadi aset tidak bergerak dan bergerak seperti tanah di beberapa lokasi dan sejumlah mobil yang menggunakan nama pihak lain.

Sebagai informasi, Yudi juga saat ini sedang menjalani vonis 9 tahun penjara karena menerima suap Rp6,5 miliar dan 354.300 dolar AS atau setara Rp11,5 miliar terkait proyek jalan milik Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2015 dan 2016 yang menjadi program aspirasi DPR.