Belajar dari Resesi Pertama yang Dialami Republik Indonesia
JAKARTA - Pandemi telah menyebabkan tekanan luar biasa bagi ekonomi dunia. Amerika Serikat (AS), Jerman, Prancis, Korea Selatan, Hong Kong, hingga Singapura dan Malaysia telah mengumumkan kondisi resesi. Terakhir, Jepang menyusul deretan negara dunia. Indonesia diprediksi jatuh dalam jurang yang sama. Sejarah mencatat, kali pertama resesi Indonesia sebagai republik terjadi di tahun 1960.
Jepang, konon memiliki kesamaan dengan Indonesia. Dua negara sama-sama tak memberlakukan kuncitara sebagai opsi menjaga ekonomi tetap hidup. Namun, sekuat-kuatnya Jepang, ekonomi mereka kini mencatatkan minus 7,8 persen di kuartal II 2020. Di kuartal sebelumnya, Jepang juga minus 2,2, persen.
Resesi adalah pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut yang dialami sebuah negara. Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menjelaskan, sejatinya Indonesia telah mengalami resesi jika mengacu proyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun yang dikeluarkan pemerintah. Kita tinggal menunggu pengumuman resmi otoritas.
"Kalau kita ambil titik tengahnya itu kan minus. Pertumbuhan ekonomi kita minus 0,5 atau 0,4 persen. Artinya, di kuartal ketiga itu masih negatif. Kalau masih negatif, karena kita dua kuartal berturut-turut negatif, maka akan resesi. Dengan statement angka pertumbuhan tersebut dapat diartikan pemerintah sebenarnya sudah mengakui resesi akan terjadi, terutama di kuartal ketiga," katanya kepada VOI, Selasa, 18 Agustus.
Resesi pertama Indonesia sebagai republik
Kondisi ekonomi dan politik Indonesia pascakemerdekaan sampai 1960-an jauh dari kata baik. Secara politis, Indonesia memang sudah merdeka. Namun, secara ekonomi, ketergantungan pada perusahaan asing tak pernah selesai. Apalagi kebijakan pada saat itu menempatkan ekonomi di bawah strategi politik umum, yang mana atas kuasa presiden pertama Indonesia Soekarno, politik tak ubahnya sebagai panglima.
Dikutip dari tulisan pakar ekonomi, M. Fadly di Majalah Tempo berjudul Widjojo di Tengah Upaya Penyelesaian Krisis Ekonomi (2001), dijelaskan pada fase awal pemerintahan Soekarno, ekonomi Indonesia sempat tumbuh 4-5 persen dalam setahun. Dasar kebijakan yang dipakai adalah berdamai dengan Belanda dan melakukan reintegrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia. Namun prinsip itu ditanggalkan, dan masalah kemudian berdatangan.
“Namun, sejak 1957, prinsip ini ditinggalkan. Hubungan dengan Belanda memburuk, bahkan menjadi konflik dan perang, dan Sukarno semakin mengisolasi Indonesia dari dunia Barat. Perencanaan pembangunan ekonomi berpindah dari asas rasionalnya Sumitro dan Djuanda ke asas revolusioner-nasionalis dari Moh Yamin dengan retorik serta simboliknya. Ekonomi semakin mundur sampai rontok 1966.”
Atas dasar itu, langkah-langkah yang dibuat oleh pemerintah cenderung terdengar ambisius dan tak realistis. Akibatnya, untuk mencapai target Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), pemerintah mengubah posisi Bank Indonesia, dari bebas membuat kebijakan sendiri tanpa campur tangan empunya kekuasaan, menjadi berada di bawah pangkuan pemerintah.
Alhasil, Bank Indonesia mencetak uang sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan itu pula, uang tersebut digunakan pemerintah untuk mendanai banyak hal, mulai dari membangun banyak proyek mercusuar, agitasi dan propaganda terhadap Malaysia, nasionalisasi perusahaan asing, serta pembelian peralatan tempur.
Hal itulah yang membuat Soekarno jatuh dari tajuk kekuasaan. Uniknya, hal itu tak disangka-sangka banyak pihak. Padahal, sekumpulan masalah sudah banyak mendatangi negara Indonesia yang berusia muda. Sebut saja, krisis keuangan, termasuk resesi, inflasi yang melangit, plus nilai tukar yang melonjak jauh karena peredaran uang yang tak terkontrol.
“Bahkan di luar perkiraan para ahli di bidangnya. Krisis ekonomi diteruskan dengan krisis-krisis lain seperti krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan serta krisis moral yang melanda pejabat negara. Akibatnya, laju pemerintahan menjadi mandek dan stagnan, tidak lagi memiliki power untuk bekerja mengatasi krisis,” tulis Syaifruddin Jurdi dalam buku Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia (2016).
Rakyat jadi korban
Pada akhirnya, rakyat jadi korban. Pegawai pemerintah dan buruh, termasuk menjadi korban dari ganasnya krisis ekonomi. Kala itu gaji bulanan yang diterima tak sepadan dengan harga barang.
Sedihnya lagi, mereka pun menuntut pemerintah dan para pengusaha untuk melakukan pembayaran sebagai gaji dari tunjuangan hari raya, diganti dengan ragam barang kebutuhan pokok, seperti beras, terigu, minyak goreng dan lain sebagainya, Tujuannya supaya mereka dapat menyambung hidup di tengah krisis.
Gambaran terkait kondisi krisis ekonomi di awal dekade 1960-an, turut pula diabadikan oleh Firman Lubis dalam bukunya Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa (2008). Mantan mahasiswa Fakultan Kedokteran Universitas Indonesia tersebut menjadi saksi masa krisis tersebut.
Menurut Firman, semasa krisis nilai uang terus merosot yang membuat harga barang menjadi meroket. Dirinya, mencontohkan hal itu lewat harga bakmi pada 1962 yang per mangkuk masih berada di angka Rp5. Harga yang sangat murah dibanding dengan uang beasiswanya yang menyentuh angka Rp850 sebulan.
Baca juga:
Nahas, pada akhir 1965, uang beasiswa itu nyaris tak berarti apa-apa baginya. Sekalipun jumlah semakin naik menjadi Rp3.500 sebulan, tapi harga bakmi sudah sampai menyentuh angka Rp1.500 per mangkuk. “Harga-harga kebutuhan hidup terus merayap naik. Inflasi meningkat tajam, bahkan hingga beberapa ratus persen. Berbagai bahan kebutuhan pokok masyarakat semakin sulit didapat.”
Tak hanya Firman, Soe Hok Gie dalam catatannya yang dijadikan buku legendaris berjudul “Catatan Seorang Demonstran (1983), menyebutkan mahasiswa-mahasiswa yang hidup pada tahun 1966 tak tahan lagi untuk segera turun ke jalan karena harga-harga barang dan jasa yang melambung tinggi.
“Beberapa kelompok mahasiswa sedang asyik berbicara serius –tetapi panas—tentang kenaikan harga bus Rp200 menjadi Rp1.000. suasana seperti ini sudah lama kuduga, jadi tidaklah terlalu mengejutkan bagiku,” tutup pria yang akrab disapa Gie.