Proteksionisme Memang Penting, Tapi Masalah di Hulu Pertanian Bawang Putih juga Harus Diurus
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat keluhan dari para petani bawang putih di Temanggung: keran impor bawang putih dibuka kala panen. Proteksionisme memang berperan penting di sini. Hanya saja permasalahan di hulu seperti peningkatan produktivitas juga harus diurus.
Momen Jokowi menelepon Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi saat melakukan kunjungan kerja ke Temanggung, Jawa Tengah menjadi perbincangan. Dalam pembicaraannya, eks Gubernur DKI Jakarta itu sempat menanyakan mengapa impor bawang putih justru masuk di saat musim panen.
"Pak Menteri, ini saya sedang bersama para petani bawang putih di Temanggung," kata Jokowi seperti judul unggahan yang memperlihatkan Jokowi sedang menelpon. "Keluhan mereka semuanya sama. Pada saat panen, impor bawang putih justru masuk. Keluhannya selalu itu."
Sialnya, mengurangi atau menutup keran impor sekalipun jalan keluar yang tepat. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan kepada VOI, Indonesia masih tergantung dari impor untuk urusan bawang putih.
Meskipun dari segi aroma dan rasa bawang putih lokal lebih unggul, namun bawang putih impor tetap menjadi primadona salah satunya karena bentuknya yang lebih besar. Hal itu diungkapkan Fachru Nasution, seorang eksportir yang pernah menjadi seorang koki.
Menurut orang yang bertahun-tahun menggeluti industri kuliner ini mengatakan bawang putih yang berukuran lebih kecil itu cukup menyulitkan dalam proses memasak. "Itu kenapa industri kuliner lebih banyak memakai bawang putih impor," ucapnya kepada VOI.
Kata Fachru, sebetulnya dari segi kualitas citarasa, bawang putih lokal memang juara. Namun faktor ukuran ternyata cukup penting dipertimbangkan oleh industri-industri kuliner, selain harga yang lebih murah tentunya.
Fachru juga bercerita bahwa dirinya pernah mendapat permintaan untuk mengekspor bawang putih ke Oman. Namun, lagi-lagi ia mengatakan bawang putih lokal hanya kalah dari segi ukuran. "Tapi yang mereka cari bawang putih persis seperti bawang putih impor yang ada di Indonesia. Jelas kami tidak bisa memenuhi permintaan tersebut."
Untuk itu ia berharap kepada pemerintah khususnya Kementerian Pertanian agar serius membina dan mengembangkan produktivitas para petani Indonesia. "Agar bisa menciptakan varietas bawang putih yang dari segi ukurannya tidak kalah dari bawang putih impor."
Masalah produktivitas
Ekonom Nailul Huda mengamini dari sisi produktivitas komoditas bawang putih kita memang ketinggalan jauh. Misalnya dari China. Setidaknya itulah yang membuat bawang putih dari Negara Tirai Bambu lebih murah.
"Bandingkan dengan bawang putih lokal yang rendah produktivitasnya, maka dari itu harganya lebih mahal. Meskipun kualitasnya lebih bagus lokal tapi konsumen tetap pilih yang lebih murah," kata Huda.
Produktivitas yang dimaksud kata Huda mencakup persoalan teknologi, harga tenaga kerja, harga bibit, harga pupuk, dan sebagainya. "Di kita kan paling banyak biaya untuk tenaga kerja Jadi memang kurang efisien."
Oleh karena itulah pekerjaan rumah ini bertumpu di Kementerian Pertanian. Karena kendalanya sebagian besar berada di produksi bukan di distribusinya.
"Masalahnya di produksinya bukan di distribusinya. Kalo produksi tanggung jawab Kementan."
Sebagai gambaran, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi bawang putih di Indonesia tak pernah mencapai seratus ribu ton dalam setahun. Pada 2020 saja produksinya hanya mencapai 81.80 ribu ton. Jumlah itu bahkan turun 7,89 persen dibanding 2019 yang mencapai 88,82 ribu ton.
Sementara menurut Kementan, kebutuhan bawang putih pada 2021 mencapai 532 ribu ton. Hal itulah yang membuat kebutuhan impor bawang putih, sulit terelakkan.
*Baca Informasi lain tentang PERTANIAN baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
Baca juga: