Apa Enaknya Jadi Band Cover?
JAKARTA - Pertanyaan ini mungkin sering muncul ‘sekelebatan’ di benak sebagian orang ketika menonton band Indonesia tampil membawakan lagu-lagu milik para idolanya di atas panggung. Tanpa melihat suatu kasus dari berbagai sisi, mereka mungkin menilai band-band itu kurang kreatif dan tidak memiliki karya sendiri. Padahal, belum tentu juga. Semua tergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi.
Dilihat dari sisi bisnis, bagi band cafe/Top 40, membawakan lagu orang adalah sebuah kewajiban yang 'enak banget' dan menguntungkan. Hal ini pernah diungkapkan oleh Randy, gitaris band spesialis lagu-lagu classic rock, Le-Montea, beberapa waktu lalu.
“Untuk saat ini, [membawakan lagu-lagu orang lain] alhamdulillah sangat membantu dalam hal ekonomi. Dan sebagai gitaris saya juga mendapatkan kepuasan membawakan lagu-lagu classic rock karena dari tingkat kesulitan lagu itu sendiri. Lebih-lebih kita harus memainkannya dengan soul,” katanya.
Mahareza Muzanto, mantan drumer The Miracle, juga pernah mengungkapkan hal yang sama soal alasan mantan band-nya membawakan lagu-lagu milik dedengkot progressive metal dunia, Dream Theater.
“Sebenarnya ujung-ujungnya bisnis. Sebuah band kalau mau eksis mau enggak mau harus ada job. Nah, job metal itu jarang, sekalinya ada murah meriah. Karenanya, sebagai band metal kami harus bisa jaga harga,” ucapnya.
Selain itu, bagi band baru yang belum terdengar namanya, menyelipkan lagu ngetop juga bisa menjadi magnet ketimbang terus-terusan membawakan lagu sendiri yang tidak dikenal penonton.
“Kami juga harus tahu kondisi. Karena pernah di satu acara Dream Theater Nite kami bawain lagu sendiri. Ada beberapa yang antusias, tapi enggak sedikit yang enggak bereaksi karena enggak tau [lagunya],” lanjut Reza, sapaan Mahareza.
Kendati demikian, anggapan yang menyebutkan jika terlalu sering membawakan lagu orang bakal menghambat ide kreatif sebuah band, ada benarnya juga. Ketika menggarap album pertamanya, Them (let him make his choice…) pada 2008, Reza dkk mengaku meski sudah berusaha untuk tidak mendengarkan lagu-lagu Dream Theater, tapi ujung-ujungnya dianggap mirip juga.
“Kami udah dapat tawaran bawain lagu-lagu Dream Theater dari tahun 2007, kami sendiri mainin lagu Dream Theater itu dari 2001. Sampai akhirnya ada tawaran dari sebuah label untuk bikin album. Waktu kami coba bikin album, kami dikarantina dan nggak dengerin [lagu] Dream Theater, tapi dengerin lagu-lagu kayak Breaking Benjamin. Malah kalau [kibordis] Yessy mainnya mirip lagu Dream Theater, kami buang dan ganti. Tapi tetep aja orang bilang lagu A ada Dream Theater-nya, lagu B ada Dream Theater-nya…” ucap Reza lagi.
Hal ini serupa – bahkan lebih parah – pernah dialami oleh band cover version lainnya, Oracle, yang sering membawakan lagu-lagu Metallica di setiap pentasnya. Akibat terlalu sering membawakan lagu-lagu milik James Hetfield cs, begitu tampil membawakan lagu sendiri, bingung.
“Kalau lagu Metallica itu kami udah hapal beberapa album jadi santai-santai aja. Tapi justru kalau bawain lagu sendiri kadang-kadang kami lupa sendiri masuknya di mana,” ujar gitaris Jimmy sambil terkekeh. Oracle sejauh ini sudah merilis empat album penuh.
Kalau sudah begini, mau bagaimana? Salah satu pilihan terbaik mungkin setiap musisi harus memiliki dua band dengan susunan line-up yang berbeda. Yang satu, band cover version sebagai ladang untuk mencari rejeki. Yang lainnya, band rekaman sebagai ladang untuk melepaskan seluruh ide musikalnya.
Karena jika memiliki partner berbeda, biasanya si partner ini akan ‘mengerem’ keinginan salah satu personel agar tidak terlalu liar dalam bereksplorasi. Apalagi jika personel tersebut sudah sangat terkontaminasi dengan musik dan permainan idolanya. Bagaimana menurut Anda?