Para Ilmuwan dari WHO Yakin Omicron Tidak Lebih Buruk Dibanding Varian Lain

JAKARTA - Varian Omicron tampaknya tidak lebih buruk daripada jenis virus corona lainnya. Pernyataan ini keluar dari para ilmuwan top WHO dan dan Amerika Serikat yang berbicara kepada AFP.

Dikutip dari Channel News Asia, Rabu 8 Desember, mereka tetap memperingatkan kalau pernyataan itu perlu dipertegas dengan penelitian lanjutan untuk menilai tingkat keparahannya.

Pernyataan itu seakan memberi harapan baru bagi dunia. Apalagi kini dunia sedang khawatir dari varian yang sangat bermutasi. Puluhan negara kembali memberlakukan pembatasan0perbatasan dan meningkatkan kemungkinan kembalinya penguncian yang menghukum secara ekonomi.

"Meskipun kemungkinan lebih menular daripada varian sebelumnya, data awal tidak menunjukkan Omicron lebih parah," kata direktur kedaruratan WHO Michael Ryan.

"Faktanya, jika ada, arahnya adalah ke arah yang lebih ringan," lanjut Michael Ryan.

Ryan tidak percaya kalau Omicron disebut bisa sepenuhnya menghindari perlindungan yang diberikan oleh vaksin COVID-19. Informasi ini sebelumnya menggambarkan bagaimana kengerian varian Omicron.

"Kami memiliki vaksin yang sangat efektif yang telah terbukti efektif melawan semua varian sejauh ini, dalam hal penyakit parah dan rawat inap ... Tidak ada alasan untuk berharap bahwa itu tidak akan terjadi untuk Omicron," tambahnya.

Sebuah penelitian besar di Inggris tentang pencampuran vaksin COVID-19 telah menemukan, orang memiliki respons kekebalan yang lebih baik ketika mereka menerima dosis pertama suntikan vaksin COVID-19 lansiran AstraZeneca atau Pfizer diikuti oleh Moderna sembilan minggu kemudian, menurut hasil pada Hari Senin.

"Kami menemukan respons imun yang sangat baik di seluruh pengujuian, pada kenyataannya, lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan oleh vaksin Oxford-AstraZeneca dua dosis," Matthew Snape, profesor Oxford di balik uji coba yang dijuluki Com-COV2, mengatakan kepada Reuters, seperti dikutip 7 Desember.

Temuan yang mendukung pemberian dosis fleksibel akan memberikan harapan bagi negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah, yang mungkin perlu menggabungkan merek yang berbeda antara vaksin pertama dan kedua jika persediaan menipis atau menjadi tidak stabil.

"Saya pikir data dari penelitian ini akan sangat menarik dan berharga bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana mereka masih meluncurkan dua dosis vaksin pertama," jelas Snape.

"Kami menunjukkan, Anda tidak harus kaku untuk menerima vaksin yang sama untuk dosis kedua dan jika program akan disampaikan lebih cepat dengan menggunakan beberapa vaksin, maka tidak apa-apa untuk melakukannya," paparnya.

Jika vaksin AstraZeneca-Oxford diikuti dengan suntikan Moderna atau Novavax, antibodi yang lebih tinggi dan respons sel T diinduksi dibandingkan dua dosis AstraZeneca-Oxford, menurut para peneliti di Universitas Oxford.