Pemberontakan Nangeli Mengiris Buah Dadanya Sendiri: Kala Perempuan Kasta Sudra Dilarang Menutup Payudaranya
JAKARTA - Pajak Payudara atau Mulakaram adalah satu-satunya pajak yang terbilang kotor dan keji diperlakukan terhadap kalangan wanita berkasta rendah di India. Tepatnya di daerah Travancore, negara bagian Kerala di pantai selatan India. Pajak payudara muncul akibat tekanan Inggris atas upah yang semakin besar dan tinggi.
Pemberlakuan sistem kasta memang terjadi di masyarakat India. Mereka yang datang dari kalangan atas memiliki disparitas kesenjangan perihal hak dan kewajiban sekalipun berstatus sesama warga sipil. Sistem kasta menjadi bagian integral di kalangan masyarakat India.
Strutktur sosial yang membagi masyarakat menjadi beberapa kategori berdasarkan pekerjaan mereka. Masyarakat secara luas bisa diklasifikasikan menjadi empat jenis: brahmana (para pendeta yang bertanggung jawab untuk menyebarkan ilmu suci), kshatriya (pejuang yang melindungi kerajaan dari musuh), vyshiyas (terdiri dari petani, pengrajin, dan pedagang kaya), hingga yang paling rendah, sudra (para pelayan yang bekerja untuk kasta lain).
Menempati hierarki kasta terbawah, sudra adalah kasta yang paling tak mengenakkan. Mereka kerap diperlakukan buruk dan tak adil dari kasta lain. Apalagi, tak ada perlindungan dari sistem pemerintahan.
Hierarki berbasis kasta ini mengakibatkan dominasi tak terkendali dan perlakuan buruk terhadap sudra oleh anggota kasta lain. Kaum perempuan dalam komunitas ini sering dieksploitasi oleh anggota dari kasta atas karena tidak adanya sistem yang dapat melindungi mereka. Salah satunya lewat 'mulakaram' atau pajak payudara yang hanya berlaku bagi kasta terendah saat itu.
Mulakaram, sebuah pajak payudara
Selama awal 1800-an, di daerah Selama, “mulakaram” atau pajak payudara diberlakukan bagi wanita di negara bagian Travancore. Daerah itu merupakan salah satu dari 550 negara bagian di India yang dikuasai oleh Inggris.
Besarnya tuntutan Inggris terhadap raja-raja lokal di dataran India memaksa para raja memutar otak mencari cara bagaimana bisa memenuhi keinginan sang penjajah itu sekalipun harus lagi-lagi menyulitkan rakyatnya. Korban utama menyasar kalangan wanita dari kasta Sudra sebagai kasta terendah di India.
Mereka dilarang menutupi kedua payudara tubuhnya sendiri apabila tak menjalankan mulakaram atau pajak payudara. Para wanita dari kasta sudra dipaksa bertelanjang dada tanpa selembar busana pun. Bilamana kedapatan melanggar, maka besaran pajak akan dikenakan sesuai ukuran payudara mereka.
Mulakaram akan terus dikenang dalam perjalanan sejarah dunia sebagai satu-satunya pajak terkotor yang pernah diberlakukan manusia. Dengan mengerdilkan salah satu kasta terendah tanpa adanya rasa keadilan yang sanggup membela hak-hak privasi para wanita kalangan kasta Sudra.
Setiap dari mereka yang terhitung melewati usia pubertas akan diperiksa ukuran payudaranya. Kemudian akan dikalkulasi besaran pajak yang ditentukan berdasar ukuran payudara mereka sendiri. Hal ini adalah gangguan serius bagi hak individu dan integritas mereka sebagai wanita, sekalipun mereka kasta terendah di India.
Selain mencari pemasukan tambahan lewat komoditas pajak, mulakaram memang ditujukan untuk menghina kalangan kasta terendah dengan perpecahan lebih lanjut dalam tatanan masyarakat lokal India. Bagaimana kalangan wanita dari kasta lain ternyata diizinkan menutupi payudara mereka tanpa dibebankan mulakaram.
Menurut Dr. Sheeba KM, associate Professor of gender ecology and Dalit studies di Shri Shankaracharya Sanskrit Vishwavidyalaya di Kerala, India, "Tujuan pajak dada adalah untuk mempertahankan struktur kasta dan bukan yang lain. Pakaian dianggap sebagai tanda kekayaan dan kemakmuran, sehingga orang miskin serta kasta rendah lainnya tidak berhak atas sebuah pakaian."
Bagi wanita yang hidup pada masa itu, istilah kecantikan dan keanggunan tubuh jadi ancaman utama yang berbalik menghantam martabat mereka sendiri. Tak sedikit banyak kalangan rendah beralih sebagai penganut agama Kristen demi menghindari pajak kotor ini karena aturan yang berlaku bagi wanita Kristen saat itu bebas mengenakan pakaian atas penutup payudara.
Maka, kristenisasi relatif meluas di kawasan selatan India, dengan tingkat penyebaran yang masih eksis hingga kini. Ketimbang menerima penghinaan dan sanksi sosial masyarakat, belum lagi cibiran-cibiran tiada henti diterima mereka dalam situasi kapan pun, pindah agama menurut mereka lebih baik.
Pembangkangan 'tang Cantik' Nangeli
Nangeli muak. Baginya, mulakaram adalah kelakuan keji yang melampaui batas kemanusiaan. Nangeli, nama yang artinya ‘Yang Cantik’ itu nantinya berhasil mengubah kisah jalan pemberontakan dengan mengirim sinyal kejutan di seluruh India bagian selatan, tak hanya di Kerajaan Travancore.
Nangeli adalah wanita yang berasal dari kasta yang lebih rendah. Ia hidup rukun bersama sang suami di daerah Chertala, sebuah kota sunyi jauh dari pusat keramaian seperti di Kerala zaman itu. Keseharian Nangeli menjadi buruh tani tak memudarkan kecantikan paras wajahnya. Perangainya pun elegan, dibantu kepintaran otaknya. Sosok langka di kalangan kasta rendah.
Namun, kecantikannya menjadi sumber malapetaka lewat perlakuan orang-orang cabul dari kasta di atasnya. Pelecehan, baik verbal dan nonverbal kerap dialami Nangeli. Namun itu tak menyurutkan Nangeli untuk tetap melindungi wanita muda di linkungan dan komunitasnya sendiri agar jauh dari eksploitasi kalangan kasta atas.
Pada tahun 1803, Nangeli menentang aturan negara bagian tentang mulakaram. Ia mempertontonkan di hadapan publik bagaimana ia mulai mengenakan pakaian atas untuk melindungi payudaranya. Sikapnya menimbulkan kericuhan besar di antara anggota kalangan atas. Nangeli kemudian dipanggil menghadap untuk dipaksa melepaskan jubahnya sendiri di depan umum.
Cerita pembangkangan Nangeli menyebar dari mulut ke mulut, hingga parvathiyar atau petugas pemungut pajak mendatangi rumahnya dengan didampingi para tentara kerajaan. Mereka meminta keterangan Nangeli sekaligus menghitung berapa besaran total pajak yang wajib dikenakan kepada Nangeli. Pilhannya adalah membayar atau menghadapi konsekuensi lebih berat.
Nangeli pun tampak tenang memasuki rumahnya sendiri untuk mempersiapkan apa yang diminta. Kemunculannya tak lama dari dalam sudah disertakan dengan persembahan pajak yang dilipat rapi di dalam daun pisang raja. Tak disangka, setelah ia mempersembahkan bungkusan pajak tersebut, ia jatuh ambruk tak sadarkan diri berlumuran darah.
Baca juga:
Ternyata ia telah mengiris satu bagian dari kedua payudaranya sendiri sebagai bentuk protes. Bahwa pajak payudara yang diminta pihak kerajaan sudah diberikannya bersama nyawa yang ia serahkan.
Merasa tak bisa menahan rasa sedih kehilangan sang istri, maka sang suami pun ikut menyusul Nangeli dengan cara melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam api kremasi saat prosesi pembakaran Nangeli. Sejarawan, Joy Balan Vlaathangara, lewat bukunya Vaikuntaswamiyum Samoohika Navothanavu menjelaskan bagaimana dampak pemberontakan ini.
"Tangisan untuk kesetaraan dimulai bangkit hanya dari berbagai bagian Kerala, tapi dari seluruh India Selatan setelah Revolusi Channar."
Pemikiran untuk bersatu di antara kalangan wanita Nadar dan Izhava terjalin di antara tahun 1813–1829. Keduanya sepakat maju bersama meminta keras akan jaminan hak mereka demi menjaga martabat wanita.
Permintaan itu berakhir dengan sukses, meski selama 50 tahun situasi politik antarkasta semakin memanas dan sentimentil. Kebencian terhadap kasta brahmana juga terelakkan dalam pandangan mereka yang lebih rendah, ketika kasta tertinggi itu menjadi salah satu elemen pendukung lahirnya pajak keji mularakam.