Pemerintahan Libanon Bubar, Perdana Menteri Hassan Diab Mundur
JAKARTA - Perdana Menteri Libanon Hassan Diab pada Senin, 10 Agustus mengundurkan diri dan membubarkan pemerintahannya setelah masyarakat menggelar rangkaian aksi protes menuntut otoritas setempat bertanggung jawab atas ledakan yang menghancurkan Kota Beirut.
Diab, lewat pidatonya, juga menyebut ledakan itu dan aksi kemarahan warga merupakan buah dari korupsi yang telah mendarah daging di Libanon.
Ledakan yang disebabkan oleh lebih dari 2.000 ton amonium nitrat di gudang pelabuhan pada 4 Agustus menyebabkan 163 orang tewas dan lebih dari 6.000 warga luka-luka, serta merusak sebagian besar bangunan di Beirut, ibu kota Libanon.
Insiden itu memperburuk krisis ekonomi dan politik yang telah terjadi selama berbulan-bulan di Libanon.
"Hari ini kami mengikuti kehendak masyarakat yang menuntut tanggung jawab otoritas terkait terhadap bencana ini, (mereka) yang memilih untuk bersembunyi selama tujuh tahun, (dan kami akan mengikuti) keinginan mereka yang menuntut perubahan," kata PM Diab saat mengumumkan pengunduran dirinya dilansir Antara, Sealsa, 11 Agustus.
Presiden Libanon Michel Aoun menerima pengunduran diri pemerintahan Diab, tetapi ia meminta pihak tersebut untuk sementara ini menjadi pelaksana tugas sampai kabinet baru terbentuk, demikian isi pengumuman otoritas setempat sebagaimana disiarkan lewat televisi.
Pemerintahan Diab terbentuk pada Januari dan ia mendapat dukungan dari kelompok Hezbollah di Iran.
Jelang pengunduran diri PM Diab, aksi protes massa di Kota Beirut memasuki hari ketiga. Beberapa pengunjuk rasa melempar batu ke aparat keamanan yang berjaga di pintu masuk depan gedung parlemen. Aparat pun membalas dengan melempar gas air mata.
Bagi banyak warga Libanon, ledakan itu jadi peristiwa terakhir yang menyulut kesabaran rakyat, mengingat mereka menghadapi krisis yang disebabkan oleh terpuruknya sektor ekonomi, korupsi, dan tata kelola pemerintahan yang buruk. Rangkaian kekecewaan itu yang akhirnya mendorong warga turun ke jalan menuntut perubahan hingga ke akar.
"Seluruh rezim harus berubah. Tidak ada artinya ada pemerintahan baru (jika rezim tak berubah)," kata seorang insinyur asal Beirut, Joe Haddad. "Kami menuntut segera ada pemilihan umum," terang dia.
Sistem pemerintahan di Libanon mewajibkan Presiden Aoun untuk berdiskusi dengan parlemen sebelum menentukan perdana menteri yang akan menggantikan Diab. Ia diwajibkan untuk mengusulkan calon perdana menteri dan mengumpulkan dukungan dari anggota parlemen.
Sebagian besar masyarakat telah lama menuntut pemerintahan yang dipimpin PM Diab dibubarkan. Sejumlah menterinya mundur lebih dulu pada akhir minggu lalu sampai Senin.
Sementara sisanya, termasuk menteri keuangan, berencana mengikuti langkah tersebut, kata beberapa sumber di kalangan kementerian dan pengamat politik.
Diab pada Sabtu (8/8) mengatakan ia meminta pemilihan parlemen diselenggarakan lebih cepat.
Baca juga:
Akuntabilitas
Presiden Aoun mengatakan, bahan peledak itu disimpan dalam kondisi yang tidak aman selama bertahun-tahun di pelabuhan. Ia juga menjelaskan, pihaknya akan mendalami beberapa kemungkinan sebab ledakan, di antaranya kecelakaan, kelalaian, atau pengaruh dari luar.
Kabinet memutuskan menyerahkan penyelidikan itu ke Dewan Yudisial, kata kantor berita resmi NNA dan seorang sumber di kementerian. Dewan Yudisial merupakan lembaga peradilan tertinggi di Libanon yang vonisnya tidak dapat naik banding.
Dewan Yudisial biasanya menangani kasus keamanan tingkat tinggi.
Sementara itu, masyarakat Libanon masih berjuang untuk menghadapi luasnya dampak dari ledakan yang menghancurkan keseluruhan wilayah kota.
"Ekonomi telah terpuruk dan saat ini saya tidak mampu lagi mencari uang," kata Eli Abi Hanna, seorang warga setempat yang rumah dan bengkel mobilnya hancur akibat ledakan. "Lebih mudah mencari uang saat perang sipil. Para politisi dan krisis ekonomi telah merusak segalanya," kata dia.
Pihak militer pada Senin mengumumkan lima jasad telah ditemukan dari reruntuhan sehingga total korban tewas mencapai 163. Upaya penyelamatan dan pencarian masih berlanjut sampai saat ini.
Aksi protes anti pemerintah selama dua hari terakhir merupakan unjuk rasa terbesar sejak Oktober tahun lalu. Saat itu, para demonstran kecewa karena mereka meyakini korupsi yang masif, tata kelola pemerintahan buruk, dan rendahnya tingkat akuntabilitas jadi biang krisis ekonomi di Libanon.
Sebuah pertemuan dari lembaga-lembaga donor internasional pada Minggu berjanji akan mengumpulkan dana kurang lebih 253 juta euro (sekitar Rp4,36 triliun) untuk membiayai bantuan kemanusiaan langsung. Namun, negara-negara asing yang memberi dana menuntut pemerintah setempat transparan saat menggunakan bantuan tersebut.
Beberapa warga ragu rezim akan berubah, mengingat sistem politik sektarian telah mendominasi di Libanon sejak berakhirnya konflik pada 1975-1990.
"Tidak akan ada yang berhasil, orang-orang (di pemerintahan) masih sama. Ini merupakan jaringan mafia," kata Antoinette Baaklini, seorang pegawai perusahaan listrik yang kantornya hancur akibat ledakan.