Duh! 92 persen Pelanggan e-commerce Tak Sepenuhnya Tahu Cara Melindungi Data Pribadi

JAKARTA - Kebocoran data pribadi di Indonesia akhir-akhir ini memang marak terjadi dan mengkhawatirkan masyarakat. Beberapa sasaran empuk dari kejahatan siber itu adalah platform belanja online, kebocoran data penumpang bahkan data registrasi pada SIM Card.

Menurut Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, platform e-commerce menjadi salah satu klaster penyebab kebocoran data pribadi. Hal ini pula yang menjadi perhatian pemerintah untuk segera membuat payung hukum untuk melindungi data pribadi masyarakat di internet. 

"Berdasarkan studi global, 92 persen pelanggan e-commerce merasa platform e-commerce sangat membuka data pribadi mereka (pelanggan)," ungkap Meutya saat webinar siberkreasi "Urgensi Perlindungan Data Pribadi," Senin 10 Agustus.

Sebagai contoh, Meutya memaparkan sejumlah kasus kebocoran data yang berkaitan dengan e-commerce di Indonesia. Mulai dari kebocoran data penumpang maskapai Malindo Air dan yang terbaru 91 juta data pengguna Tokopedia yang juga bocor di forum hacker. 

Namun yang menjadi perhatian Meutya, bagaimana masyarakat justu tidak sepenuhnya tahu bagaimana cara melindungi data pribadinya. Contoh sederhana, saat pemerintah mewajibkan registrasi SIM Card untuk didaftarkan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK). 

Menurut Meutya, hal tersebut rentan akan penyalahgunaan data pribadi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Terlebih hingga kini, nomor yang sudah teregistrasi sudah mencapai lebih dari 300 juta nomor.

"Dan itu juga terjadi satu klaster kebocoran data. Tidak sepenuhnya karena sistemnya, tetapi karena literasi yang kurang sehingga ketika kita tidak mengerti bagaimana caranya mendaftarkan SIM Card itu dibantu oleh penjual pulsa atau gerai ponsel, sehingga data kita kemudian juga terbuka dan tidak bisa terlindungi dengan baik," terang Meutya.

Kurangnya pemahaman akan literasi digital dan bagaimana cara melindungi data pribadi penggunanya di internet, menjadi sangat rentan dimanfaatkan oknum tertentu. Apalagi kemudahan seseorang untuk mendaftarkan jaminan data seseorang untuk fintech

Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid (tangkapan layar webinar siberkreasi/Tachta Citra Elfira)

"Sering terjadinya penggunaan data pribadi untuk memvalidasi transaksi keuangan dan transaksi strategis lainnya. Tidak jarang, akses kontak di ponsel dari peminjam uang, dapat diketahui dengan mudah oleh perusahaan finntech tertentu," lanjutnya.

Sadar akan urgensi perlindungan data pribadi sangat penting. DPR berharap bisa segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) pada awal 2021 mendatang. 

"Saat ini RUU PDP tengah masuk ke dalam proses RPDU Komisi I DPR RI untuk menerima masukan dari berbagai bidang baik itu pakar maupun ATSI dan APJII," papar Meutya.