Teror Bom Abadi yang Mengancam Kehidupan Warga Laos
JAKARTA - Laos adalah negara paling sering diledakkan, paling banyak dihujani bom. Sebuah rekor. Tragedi yang disebut the secret war adalah peperangan yang tak banyak diketahui publik. Dalam perang itu, Amerika Serikat (AS) menghujani Laos dengan berbagai macam bom selama sembilan tahun sejak tahun 1964 hingga 1973.
Selama sembilan tahun beruntun, daratan Laos tiada henti dibombardir pihak Amerika Serikat sebanyak empat miliar unit bom dalam Secret War.
Apa yang disampaikan situs asiasociety.org bahwa "Negeri Satu Juta Gajah" itu kehilangan 50 ribu korban hingga 1973. Kematian akibat bom terakhir yang diluncurkan pada tahun itu menambah korban sebanyak 20 ribu orang tewas. Rakyat Laos menggambarkan bagaimana bom demi bom bertubi-tubi tanpa henti ibarat guyuran hujan yang hendak membasahi daratan. Bomb is The Rain fell
Warisan "bom cluster"
Salah satu dari berbagai jenis bom yang diluncurkan para pilot AS ketika Secret war adalah bom curah atau cluster munition. Selepas terhentinya pengeboman oleh AS, kehidupan rakyat Laos tak begitu saja terbebas dari ancaman maut akibat bom. Terutama banyaknya bom yang tertanam namun tak meledak saat itu dan sifatnya masih berstatus aktif.
Reporter ABC News, Bob Wordruff melaporkan ada lebih dari 30 persen bom yang diluncurkan saat itu tak meledak ketika menghujam daratan Laos. Artinya, kemungkinan besar bom tersebut berstatus aktif dan bisa meledak kapan pun. Kebanyakan yang memakan korban adalah warisan bom curah (cluster bomb).
Selain Laos, tercatat ada 36 negara di dunia lain yang menerima hantaman dari serangan bom cluster ketika peperangan berlangsung di negara mereka.
Setidaknya 270 juta bom cluster menjadi satu di antara berbagai jenis bom yang dilepaskan ke dataran Laos oleh pilot Amerika Serikat dalam secret war.
Akibat dari kebrutalan masa lalu itu, legaciesofwar.org menyatakan dalam sebuah jurnal: bahwa ke-17 provinsi di Laos berstatus terkontaminasi oleh persenjataan yang belum meledak atau UXO (Unxploded ordnance). Bahkan 41 dari 46 titik daerah miskin di negeri itu berstatus terkontaminasi parah/tinggi UXO.
Provinsi paling terancam adalah Xiengkhouang, di mana sebanyak 75 persen korban yang dilansir Aljazeera adalah para anak kecil. Istilah bombies-pun disematkan sebagai bom yang sangat menarik atensi anak kecil karena banyak dikira bola bermain.
Namun, di provinsi pinggiran lain selain Xiengkhouang juga masih banyak ancaman bom selain cluster. Bom konvensional yang bersembunyi di balik area-area persawahan dan perkebunan rakyat Laos masih berlanjut hingga hari ini.
Mengubah petaka jadi rezeki
Apa yang jadi warisan masa lalu itu berusaha diubah menjadi kesempatan untuk mengais rezeki oleh rakyat Laos. Sebagian besar mencari sisa-sisa lempengan besi untuk dijadikan kebutuhan dasar bahan industri yang disetorkan setiap harinya kepada para pengepul.
Selain itu, mereka juga mengubah pecahan sisa selongsong peluru hingga bom yang tak meledak menjadi berbagai hal seperti aksesoris, perahu, tangga, sampai sendok. Kepingan yang dihargai 10 sen per pon dan satu kepingan bisa menghasilkan sekitar 30-40 dollar AS adalah harapan kehidupan dari tragedi yang dirasa tak setimpal dengan akibatnya sampai sekarang.
Para pengais sisa-sisa bom itu kebanyakan para wanita yang diikuti anak-anak kecil. Para aparat militer kaum perempuan juga diikutsertakan sebagai tim pemburu-penjinak bom aktif yang bertebaran di daratan Laos.
Bagaimana estimasi nilai pengeboman diperkirakan memakan biaya yang tak murah, yaitu 17 miliar per harinya. Tanggung jawab pemerintah AS pasca peperangan berakhir tak terlihat seimbang ketika angka yang ditujukan untuk menggelontorkan dana sejak tahun 1993 sampai 2012 hanyalah 61 juta dolar AS.
Dosa perebut kekuasaan
Laos adalah negara jajahan koloni Prancis, seperti tetangganya di sisi selatan dataran Indocina, Kamboja. Selepas Perancis tak lagi berkuasa selama 30 puluh tahun, Laos membentuk pemerintahan dengan kolaborasi dua kubu kekuatan: kubu pemerintahan Royal (Royal Lao) dan Pathet Lao.
Nama terakhir adalah kubu yang lebih dekat dan condong dengan ideologi komunis. Sebagaimana tentara Vietnam Utara di bawah komando Ho Chi Minh lewat sokongan China dan Uni Soviet, pihak Vietnam Utara menyokong Pathet Lao perihal ilmu perang, logistik hingga persenjataan.
Sementara, kubu pemerintahan Royal adalah kubu yang memilih wilayah Laos bagian tengah. Dikarenakan penolakan Jenderal Phoumi Nosavan terhadap Pathet Lao, pemerintahan Royal mendapat sokongan penuh pihak AS melalui tangan CIA dan para tentara Thailand.
Keikutsertaan dukungan Pathet Lao terhadap pergerakan Vietnam Utara semasa perang membuat rakyat mereka menjadi korban dari para perebut kekuasaan, pemberontak komunis melawan Royal Lao yang didukung Amerika Serikat.
Singkat cerita, memanasnya situasi kala perang Vietnam Utara melawan AS dan kemenangan pihak pemberontak komunis Pathet Lao atas pemerintahan Kerajaan Laos pada awal tahun 1961 membuat John F. Kennedy sebagai presiden yang baru terpilih merasa harus mengintervensi Laos. Karena dalam pandangan pemerintah AS, Apa yang terjadi dengan Vietnam Utara sama dengan apa yang terjadi terhadap Laos dipikirnya.
Menurut situs legaciesofwar, ritual pengeboman yang dilakukan pihak militer AS memang menjadi bagian strategi untuk menyokong pemerintahan Royal Lao melawan pihak komunis Pathet Lao. Hal itu dilakukan demi melumpuhkan jalur bantuan logistik militer yang dilakukan oleh pihak Vietnam Utara dibawah komando Ho Chi Minh.
Baca juga:
Terlebih, soal bagaimana Ho Chi Minh yang saat itu memimpin tentara Vietnam Utara sejak tahun 1958 berkeinginan menyatukan kembali seluruh Vietnam, termasuk Vietnam Selatan yang dikuasai oleh Ngo Dinh Diem. Jalur vital yang dilalui oleh pihak Ho Chi Minh kepada tentara Vietkong di selatan memang membutuhkan beberapa jalur pegunungan dan jalur tikus tersembunyi, di mana jalur tersebut menjadi teritori negara Laos.
Bahkan tak sungkan presiden JFK meluncurkan operasi Millpond demi intervensi AS mencegah dominasi negara komunis yang merambah dataran Indocina. Operasi yang membangun markas sementara bagi pasukan AS dengan mengirimkan bantuan armada udara itu, ditempatkan di Thailand sebagai sekutu mereka dalam melawan Vietnam Utara.
Pengeboman selama sembilan tahun berturut-turut tanpa henti itu memaksa ratusan ribu rakyat sipil mengungsi dengan memporak porandakan ratusan desa di Laos. Setelah usainya peperangan di tahun 1973, ratusan hingga ribuan pengungsi memilih terbang meninggalkan negaranya sendiri.
Salah satunya kubu Hmong yang memilih berdiri di luar kubu Royal Lao namun ikut serta melawan kubu Pathet Lao dengan dukungan dari pihak Amerika Serikat. Banyak dari mereka memilih menyeberang ke Thailand dan menjadi warga negara sana ketimbang kembali ke Laos. Pada saat bersamaan, kubu Royal Lao terbang lebih jauh lagi ke tanah harapan, Amerika Serikat sebagai tempat pengungsian dan menetap.