JAKARTA - Belum ada perjanjian damai resmi yang mengakhiri Perang Korea, yang ada baru gencatan senjata. Kendati demikian, perjanjian itu sangat penting untuk menjaga Semenanjung Korea tetap kondusif. Dan pada gilirannya, hal itu mendatangkan prospek ekonomi yang tak sedikit khususnya bagi Korea Selatan (Korsel).
Gencatan senjata ditandatangani 27 Juli, tepat hari ini 67 tahun lalu pada 1953 seperti diwartakan BBC. Dokumen perjanjian ditandatangani oleh Jenderal Nam Il dari Korea Utara (Korut), Jenderal William K Harrison perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pihak dari China, Peng Dehuai. Sementara pihak Korsel tak terlibat langsung dalam penandatangan perjanjian tersebut.
Perundingan perdamaian yang berlangsung di daerah yang sekarang menjadi zona demiliterisasi Korea, Panmunjom, sebenarnya belum final. Pada Konferensi di Jenewa pada tahun 1954 yang dirancang untuk merundingkan perjanjian damai formal pun berakhir tanpa kesepakatan.
Tapi setidaknya gencatan senjata 1953 yang mengakhiri perseteruan fisik yang berlangsung selama tiga tahun ini melahirkan beberapa butir kesepakatan. Pertama menangguhkan permusuhan terbuka, menetapkan garis perbatasan dengan zona penyangga sepanjang 4 km yang disebut zona demiliterisasi dan mengatur mekanisme untuk pertukaran tawanan perang antar kedua belah pihak.
Selain itu, dalam perjanjian tersebut juga menyerukan pembentukan Komisi Gencatan Senjata Militer (MAC) dan badan-badan lain untuk memastikan gencatan senjata dijalankan. MAC yang terdiri dari anggota kedua belah pihak masih secara rutin bertemu di desa gencatan senjata Panmunjom.
Perjanjian gencatan senjata ini tak selalu berjalan mulus. Baik Korut maupun Korsel masih sering menuduh satu sama lain. Tuduhan semakin santer seiring berjalannya program nuklir Korut.
Namun setidaknya, gencatan senjata ini merupakan sebuah langkah penting, selain untuk menjaga perdamaian juga mendatangkan prospek ekonomi. Pada masalah perdamaian, gencatan senjata Korea berhasil meredam konflik yang berpotensi menyulut Perang Dunia Ketiga.
Mendongkrak ekonomi Korsel
Korsel yang pada waktu itu dibawah kepemimpinan Presiden Syngman Rhee mulanya menolak menandatangani langsung gencatan senjata. Namun dengan bujukan AS lewat PBB, Korsel akhirnya luluh. Aliansi AS dan Korsel menjadi semakin erat setelah peristiwa itu.
Kemudian, Kongres Korsel meratifikasi aliansi menjadi undang-undang pada tahun berikutnya. Perjanjian ini menurut Presiden LSM The Korea Society, Thomas J Byrne dalam tulisannya di Bloomberg, memberikan landasan strategis bagi keamanan dan hubungan politik antara AS dan Korea Selatan. Hubungan tersebut berkembang menjadi kemitraan yang mendalam untuk berkomitmen mewujudkan cita-cita sebagai negara demokrasi.
BACA JUGA:
Hal tersebut juga mendatangkan keuntungan ekonomi. Aliansi Korsel-AS yang masih terjaga dengan baik sampai sekarang, membantu memperkuat pertahanan keuangan Korsel. Di antaranya memberikan dukungan penting bagi kepercayaan investor dan memungkinkan posisi aman terkait utang pemerintah yang mungkin membuat iri negara-negara maju.
Sampai pada 2017, Korsel berhasil mencapai pendapatan per kapita dalam hal paritas daya beli sebesar 38.300 dolar AS. Menurut Byrne kondisi ekonomi itu sedikit lebih tinggi dari Spanyol.