Erick Thohir: Industri Logistik Indonesia Banyak Hadapi Tantangan, Termasuk Soal Kekurangan Kontainer

JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkap bahwa industri logistik nasional banyak mengadapi tantangan dalam menghadapi persaingan global. Salah satunya adalah kurangnya kontainer yang menyebabkan keterlambatan pengiriman.

"Industri Logistik Indonesia banyak menghadapi tekanan dan tantangan, mengenai kerentanan rantai pasok global yang sekarang sudah dirasakan. Kontainer sangat kekurangan," katanya dalam diskusi virtual, Selasa, 23 November.

Erick pun menjelaskan bahwa dirinya baru saja rapat dengan Duta Besar Korea Selatan untuk membahas potensi ekspor urea. Namun, kondisinya saat ini Indonesia kekurangan kontainer untuk memenuhi permintaan Korea Selatan.

"Saya baru saja rapat dengan Dubes Korea Selatan,, di mana untuk pertama kalinya juga, Korea kekurangan urea untuk industri, minta kita ekspor ke sana dan ini hal-hal yang terjadi pada saat ini," jelasnya.

Kemudian, lanjut Erick, tantangan kedua adalah tekanan perdagangan Global akibat penerapan sejumlah kebijakan proteksionisme perang dagang dan peningkatan pajak.

"Ini juga sangat mempengaruhi, di mana kita juga diminta sumber daya alam kita untuk dikirim ke luar negeri sebesar-besarnya. Itulah hal yang memang kebijakan ini harus kita seimbangkan dan seperti statement Pak Presiden, kita harus lawan," ujarnya.

Erick lagi-lagi menekankan bahwa pemerintah Indonesia tidak anti asing. Namun, penting memastikan target pasar untuk pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

"Kita enggak anti asing, tetapi penting bagi kita memastikan market kita sebagai pertumbuhan ekonomi kita. SDA kita untuk pertumbuhan ekonomi kita," tegasnya.

Selanjutnya, Erick mengatakan tantangan ketiga yang dihadapi industri logistik nasional adalah kejutan Global usai pandemi yang menurunkan permintaan sejumlah komoditas bahan baku industri, produk jadi industri enggak barang impor dan ekspor.

Lebih lanjut, Erick mengatakan bahwa harga komoditas Saat ini semakin tinggi dan hal tersebut perlu diantisipasi agar Indonesia siap dalam menghadapi kejutan tersebut.

"Dan tentu hal ini ada tekanan di atas, maka ada global shock, harga komoditas semakin tinggi, ini yang perlu kita antisipasi. Jangan sampai kita tidak siap akhirnya kita mendapatkan shock yang terjadi hari ini," ucapnya.

Tak hanya itu, Erick mengatakan mahalnya biaya logistik di Indonesia dibanding negara juga menjadi tantangan bagi industri ini untuk bisa menjadi pemain global.

"Biaya logistik kita Masih mahal, 23 persen dari produk domestik bruto (PDB) masih tinggi dibanding negara lain. Singapura bisa 8 persen, India 13 persen, dan Malaysia 13 persen," jelasnya.

Karena itu, Erick berharap penggabungan atau merger PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) dapat membantu efisiensi biaya logistik ini. Selain itu, merger juga dapat memberikan manfaat lain yakni pengembangan jaringan pelayanan terintegrasi, peningkatan kapasitas pelabuhan dan percepatan standarisasi operasional, hingga peningkatan akses dan kedalaman kolam pelabuhan.

"Efisiensi biaya logistik akan memberikan pengaruh kepada meningkatnya perekonomian nasional yang memang kita harus menjadi sentranya dunia. Apalagi kita sekarang menjadi presiden G20," ucapnya.