Tertatih Bangkit dari Kehancuran, Justru Penerbangan Garuda Indonesia Semakin Langka, Wakil Erick Thohir: Hanya 60 Unit Pesawat yang Beroperasi

JAKARTA - Jadwal penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk semakin terkikis belakangan ini. Hal tersebut karena jumlah pesawat Garuda Indonesia yang beroperasi tak banyak. Dari total 142 pesawat yang beroperasi, kini hanya tersisa 50-60 pesawat.

Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo membenarkan bahwa jadwal penerbangan Garuda saat ini makin langka. Sebab, pesawat yang ada mayoritas dikandangkan atau di-grounded.

"Kalau Garuda paling drastis dari pesawatnya 142, saat ini tinggal 50-60 pesawat yang beroperasi. Jadi kami sudah mendapatkan banyak komplain selama sebulan terakhir flight Garuda makin langka, karena pesawatnya di-grounded," tuturnya dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Selasa, 9 November.

Menurut dia, pihaknya dan manajemen Garuda Indonesia akan sangat selektif melayani rute-rute tertentu memang secara profitabilitas di atas cost structure yang ada dari Garuda.

Lebih lanjut, Tiko, sapaan akrab Wamen BUMN, menjelaskan dari banyak tipe pesawat yang sebelumnya dimiliki Garuda pesawat Boeing 737 yang lebih efisien dari sisi operasi justru yang paling banyak diambil oleh perusahaan lessor.

Menurut Tiko, hal ini pula yang membuat maskapai penerbangan nasional ini hanya menggunakan tipe widebody Boeing 777 dan 330 yang mengangkut lebih banyak penumpang, meskipun tidak seefisien Boeing 737.

"Yang menarik 737 pesawat efisien, justru 737 yang kecil yang banyak diambil oleh lessor, makanya kita banyak pakai pesawat widebody yang 777 dan 330. Kalau Bapak Ibu pergi ke Denpasar sekarang banyak oleh pesawat widebody 777 walaupun tidak efisien seperti 737," jelasnya.

Sementara itu, Tiko mengatakan, anak usaha Garuda, Citilink masih relatif stabil dari kepemilikan pesawat dengan mayoritas bertipe A320. Tipe pesawat dan kepemilikan pesawat oleh Citilink ini akan tetap.

Latar belakang kondisi Garuda Indonesia

Tiko menjelaskan latar belakang kondisi Garuda saat ini merupakan gabungan dari dua aspek pada masa lalu. Pertama yaitu karena tata kelola perusahaan yang buruk sehingga membuat cost structure tidak kompetitif.

Bahkan, kata dia, ada kasus korupsi yang juga sudah diputuskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK terkait nilai kontrak pesawat.

Kata Tiko, nilai kontrak pesawat ini menyebabkan jumlahnya cukup tinggi dibandingkan dengan maskapai lainnya. Pada 2019, emiten berkode saham di GIAA tersebut sebetulnya sudah dapat menghasilkan keuntungan dari rute domestik meskipun merugi di rute internasional. Saat itu, Garuda masih bisa meraih keuntungan senilai 240 juta dolar AS.

Kedua adalah pandemi COVID-19. Tiko menjelaskan, kondisi Garuda yang membaik saat itu, harus mengalami tekanan kembali karena pandemi. Karena itu, Garuda harus berjuang dengan cost structure dan pendapatan yang turun signifikan. Apabila pada 2019 jumlah penumpang GIAA sempat menyentuh 235 juta, kini hanya 70 juta orang.

"Garuda setiap ada perketatan dari pergerakan maupun PCR dan sebagainya memang ini akan terdampak langsung. Karena memang penumpang yang naik akan menurun signifikan saat ini ada di kisaran yang lumayan 70 juta. Kalau kita lihat sebenarnya di Desember 2020 pernah mencapai 100 juta dan kemudian diketatkan turun lagi," ucapnya.

Menurut Tiko, saat ini sangat sulit untuk memprediksi cash flow atau arus kas Garuda karena sangat tergantung dari pemulihan kondisi COVID-19 di Tanah Air.

"Ini yang menjadi satu situasi yang sulit. Karena di satu sisi Garuda mempunyai cost structure yang tinggi, utangnya tinggi, dan revenue base tergerus signifikan karena pandemi. Jadi saya sering ditanya Garuda ini kinerjanya turun karena apa? Apakah karena korupsi atau pandemi? Ya dua-duanya, bukan salah satu. Jadi terdampak karena dua-duanya yang membuat kondisi Garuda saat ini tidak baik," tuturnya.