Pak Nadiem, Legislator PKS Sebut Permendikbudristek 30/2021 Sarat Nilai Liberalisme Jauh dari Pancasila
JAKARTA - Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah, mengkritik terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dia pun mempertanyakan dasar hukum keluarnya Peraturan Mendikbudristek ini.
“Secara mendasar kita perlu ingat bahwa setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini Mendikbudristek harus mengacu pada UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam pasal 8 ayat 2 UU tersebut dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi. Maka terbitnya Peraturan Menteri ini menjadi tidak tepat karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada," ujar Ledia kepada wartawan, Jumat, 5 November.
Sekretaris Fraksi PKS di DPR itu menyayangkan, beberapa muatan dalam isi Peraturan Menteri yang dikeluarkan kementerian Nadiem Makarim jauh dari nilai-nilai Pancasila. Bahkan, kata Ledia, cenderung pada nilai-nilai liberalisme.
“Sangat disayangkan bahwa satu peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan terkait kekerasan seksual justru sama sekali tidak memasukkan landasan norma agama di dalam prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang termuat di pasal 3," jelasnya.
Padahal, sambung Ledia, Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan.
Selain ketiadaan landasan norma agama, menurut Ledia, muatan-muatan Peraturan Menteri itu banyak memasukkan unsur liberal dalam mengambil sikap.
“Definisi kekerasan seksualnya menjadi bias, misalnya saja ketika memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada 'penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender'. Ditambah pula Peraturan Menteri ini memasukkan persoalan 'persetujuan' atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan sebagaimana bisa ditemukan pada pasal 5 ayat 2. Bahwa beraneka tindakan atau perilaku akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban," terang Ledia.
"Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya. Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks bahwa dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini, sambung anggota Baleg DPR itu.
Politikus PKS itu lantas mencontohkan, banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan atau suka sama suka. Juga mulai bermunculannya perilaku LGBT secara terang-terangan di tengah masyarakat.
“Padahal dalam norma agama, seks di luar nikah juga perilaku LGBT bukan sesuatu yang dibenarkan," tegasnya
Secara keseluruhan, Ledia memandang, isi Peraturan Menteri ini belum dapat memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum, melainkan hanya sekedar menyampaikan sanksi administratif internal.
Baca juga:
- Kumpulkan Data dan Dokumen, KPK Sudah Periksa Sejumlah Pihak Terkait Dugaan Korupsi Toilet Mewah di Bekasi
- Pembunuhan Pemuda di Hutan Kota Bekasi, Motifnya Balas Dendam Penganiayaan
- Tak Verifikasi Harta Kekayaan Jenderal Andika Perkasa, Politikus Golkar: Bukan Ranah DPR, Ada KPK
- Jenderal Andika Segera Jalani Fit & Proper Test, Bakal Dicecar Isu Papua dan Keamanan Laut
"Setelah dicermati, peraturan menteri ini hanya menambah beban birokratisasi administrasi baru dengan segala ketentuan perizinan dan belum menampakkan satu klausulpun yang bisa memastikan proses hukum berjalan untuk melakukan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual,” kata Ledia.
Misalnya, Pasal 7 dan 8 yang berfokus pada birokratisasi administrastif. Ancaman yang cukup berat pun, kata Ledia, belum nampak dalam keseluruhan muatan Permendikbudristek ini. Padahal, kata dia, salah satu sarana efektif dalam pencegahan adalah terdapatnya ancaman hukum yang jelas dan tegas secara pidana.
"Agar orang berpikir seribu kali kalau mau melakukan kejahatan," tuturnya.
Ledia menambahkan, Permendikburistek ini juga seolah mengenyampingkan proses hukum bila terjadi suatu kasus. Sebab, nampak lebih berfokus pada pengadilan internal dengan keberadaan satgas di lingkungan kampus.
"Karena itu saya harap Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini dibatalkan dan Kemendikbudristek bisa lebih fokus pada pembinaan sistem perkuliahan yang berkarakter Pancasila," tandas Ledia.