Kronologi 21 Tahun Kasus Djoko Tjandra: Dari Dilaporkan hingga Buron

JAKARTA - Terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra ditangkap. Sebelas tahun pelarian Djoko Tjandra sebagai buron berakhir. Lebih panjang dari pelariannya, kasus Djoko Tjandra telah bergulir selama 21 tahun sejak 1999. Berikut kronologi kasus Djoko Tjandra.

"Iya, benar (Djoko Tjandra ditangkap)," kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono saat dihubungi, Kamis, 30 Juli.

Djoko Tjandra terlibat kasus pengalihan hak yang menyebabkan pergantian kreditur Bank Bali senilai Rp904 miliar. Kasus ini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kejagung sempat menahan Djoko Tjandra pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000. Namun, hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan membebaskan Djoko Tjandra dari tuntutan. PN Jakarta Selatan menilai perbuatan Djoko Tjandra perdata, bukan pidana.

Pada 2008, Kejagung mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) untuk kasus Djoko Tjandra. Hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan mewajibkan Djoko Tjandra membayar Rp15 juta. Selain itu, uang Rp546,166 miliar milik Djoko Tjandra di Bank Bali dirampas negara.

Perjalanan kasus Djoko Tjandra

September 1999, perkara korupsi cessie Bank Bali mulai diusut berdasar laporan Direktur Tindak Pidana Korupsi Bismar Mannu kepada Jaksa Agung. Per tanggal 29 September hingga 8 November 1999, Djoko Tjandra ditahan oleh Kejagung.

Di tanggal 9 November 1999, Djoko Tjandra ditetapkan sebagai tahanan kota oleh Kejagung, sebelum kembali ditahan pada 14 Januari 2000. Penahanan dilakukan hingga 10 Februari 2000. Hari itu, Djoko Tjandra kembali ditetapkan sebagai tahanan kota oleh Wakil Ketua PN Jakarta Selatan, satu hari setelah kasus cessie Bank Bali diajukan ke PN Jakarta Selatan pada 9 Februari 2000.

Tanggal 6 Maret 2000, PN Jakarta Selatan lewat putusan sela hakim menyatakan dakwaan jaksa untuk Djoko Tjandra tak dapat lagi diterima. 10 Maret 2000, Djoko Tjandra pun dibebaskan dari status tahanan kota. Jaksa kemudian mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.

Babak baru kasus Djoko Tjandra terjadi pada 19 April 2000. Ketua PN Jakarta Selatan menunjuk Soedarto, Muchtar Ritonga, dan Sultan Mangun sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra. Nama pertama menjadi hakim ketua majelis.

Upaya perlawanan jaksa membuahkan hasil. Persidangan Djoko Tjandra yang berstatus Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Antasari Azhar yang kala itu duduk sebagai jaksa penuntut umum (JPU) didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.

Berbagai fakta menunjukkan kerugian negara hingga Rp904.642.428.369 akibat pemindahbukuan bendaharawan negara ke Bank Bali berdasar penjaminan transaksi PT Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) terhadap Bank Bali.

Djoko Tjandra (Istimewa)

Djoko Tjandra dituntut satu tahun enam bulan penjara. Ia juga dituntut denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan serta kewajiban bayar perkara Rp7.500. Selain itu, uang Rp546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali ditarik kembali oleh negara.

Agustus 2000, Majelis Hakim melepas Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan perbuatan Djoko Tjandra bukan pidana melainkan perdata. Meski begitu, dalam putusannya, majelis hakim mengakui bahwa dakwaan JPU terbukti secara hukum. Pada 21 September 2000, JPU Antasari Azhar mengajukan kasasi.

Satu tahun berselang, 26 Juni 2001, majelis hakim agung MA menjawab kasasi JPU Antasari Azhar. Djoko Tjandra dilepaskan dari segala tuntutan. Pengambilan keputusan diwarnai perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkostar hingga akhirnya diketuk lewat mekanisme voting.

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat pada direksi Bank Permata. Tertanggal 12 Juni 2003, surat itu memerintahkan Bank Permata menyerahkan barang bukti uang Rp546,4 miliar. Bank Permata, di hari yang sama menyurati Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk meminta petunjuk. Permintaan itu tak terkabul karena putusan kasasi MA memenangkan BPPN.

Direksi Bank Permata kemudian meminta fatwa MA terkait permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terkait uang Rp546,4 miliar. BPPN juga meminta fatwa MA sekaligus penundaan eksekusi putusan MA. Alasannya, ada dua keputusan yang bertentangan.

Tanggal 25 Juni 2003, fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. MA menyatakan MA tak bisa ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tanggal 1 Juli 2003, Antasari Azhar yang menjabat Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung menyebut BPPN telah menghambat proses hukum yang sedang bergulir di Kejagung.

Maret 2004, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Agus Martowardojo, Direktur Utama PT Bank Permata. Pemanggilan dilakukan sebagai lanjutan rencana eksekusi pencairan dana Rp546,4 miliar PT Era Giat Prima yang dimiliki Djoko Tjandra dan Setya Novanto.

Buron

Oktober 2008, Kejagung mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk skandal korupsi cessie Bank Bali ke MA. Pengajuan PK dikabulkan pada Juni 2009. Majelis PK MA kala itu diketuai oleh Djoko Sarwoko. Beberapa nama lain yang duduk sebagai anggota majelis adalah I Made Tara, Mansyur Kertayasa, Komariah E Sapardjaja, serta Artidjo Alkostar.

Dalam PK itu, Djoko Tjandra dituntut dua tahun penjara, denda Rp15 juta, serta pengembalian uang Rp546.166.116.369 ke negara. 16 Juni 2009, Djoko Tjandra mangkir dari panggilan Kejagung. Ia diberikan satu kesempatan lain dan kembali mangkir dalam panggilan kedua itu. Sejak itu, Djoko Tjandra Buron.

Djoko Tjandra diduga melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea. Ia diyakini telah meninggalkan Indonesia sejak 10 Juni 2009 --atau satu hari sebelum MA membacakan vonis-- menggunakan pesawat carteran.

Pada Juli 2012, Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan Djoko Tjandra telah diberikan kewarganegaraan oleh pemerintah Papua New Guinea. Di titik ini, Djoko Tjandra tak lagi tersentuh.