JAKARTA - Proklamasi kemerdekaan Indonesia tak pernah dianggap oleh Belanda. Alih-alih menahan diri, Belanda lewat panji Pemerintah Sipil Hindia-Belanda (NICA) justru membonceng sekutu (Inggris) merebut Indonesia. Pergerakan militer jumlah besar jadi ajiannya.

Pusat pemerintahan pun dialihkan ke Yogyakarta. Semua demi alasan keamanan petinggi negeri. Namun, Agresi Militer Belanda II membuyarkan segalanya. NICA justru berani mengarahkan moncong senjata ke Istana Kenegaraan Yogyakarta: Gedung Agung.  

Kaum bumiputra menyambut kemerdekaan Indonesia dengan penuh suka cita. Proklamasi kemerdekaan itu begitu membekas di seantero negeri. Sebab, kaum bumiputra akhirnya mampu terlepas dari belenggu penjajahan: Belanda dan Jepang. Namun, berita Kemerdekaan Indonesia tak membuat Belanda gentar.

Negeri Kincir Angin itu dengan panji Pemerintah Sipil Hindia-Belanda (NICA) coba bersiasat merebut Indonesia kali kedua. Mereka membonceng Sekutu untuk memuluskan rencananya. Militer Belanda diturunkan dalam jumlah yang cukup besar di Jakarta.

Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta. (Wikimedia Commons)

Penurunan militer itu sengaja dilakukan meneror segenap kaum bumiputra. Saban hari, kaum bumiputra acap kali menjadi korban kebiadaban Belanda. mereka disiksa, dibunuh, dan diperas. Kadang kala, perlakuan intimidatif NICA mendapatkan balasan. Perang meletus di mana-mana. Keamanan jadi barang mahal.

NICA tak melulu meneror rakyat semata. Mereka yang berdiam diri di tajuk kepemimpinan Indonesia ikutan terancam nyawanya. Lebih lagi, Soekarno dan Mohammad Hatta yang notabene pemimpin Indonesia. Opsi meninggalkan Jakarta dan memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta mengemuka -- demi keamanan.  

“Dengan meningkatnya tindakan-tindakan NICA yang mengganggu, bahkan yang mencoba membunuh para pemimpin Republik, berbarengan dengan itu dengan meningkatnnya sikap oposisi para pengikut Tan Malaka terhadap Soekarno dan Hatta, maka PM Sjahrir sadar Presiden dan Wakil Presiden harus diselamatkan ke Yogyakarta, Sjahrir mengutus Subandio Sastrosatomo, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), ke Yogyakarta untuk mempersiapkan dengan pemerintah daerah tentang kepindahan presiden dan wakil presiden.”

“Sjahrir meyakinkan Soekarno dan Hatta akan bahaya yang mengancam nyawa mereka jika mereka terus tinggal di Jakarta. Mereka bisa dibunuh oleh Belanda atau bisa ditangkap oleh Inggris, juga bisa dibunuh oleh kelompok Tan Malaka. Soekarno dan Hatta setuju dengan pandangan Sjahrir itu, dan dalam suasana diliputi rahasia presiden dan wakil presiden meninggalkan Jakarta. Tanggalnya ialah 3 Januari 1946 Kamis malam. Kereta api sengaja berhenti tepat di belakang rumah presiden di Pegangsaan Timur 56,” Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 7 (2015).

Moncong Senjata di Gedung Agung

Perihal berpindahnya pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta tak banyak dirisaukan rakyat Indoensia. Nyali dan semangat kaum bumiputra mempertahankan kemerdekaan tetap menyala di mana-mana. Sekalipun nyawa taruhannya.

Semangat yang sama dilanggengkan pemerintah Indonesia yang berada di Istana Kenegaraan, Gedung Agung, Yogyakarta. Keinginan mempertahankan kemerdekaan tetap meninggi. Empunya kekuasaan tetap semangat walau kondisi serba terbatas. Semuanya berkorban banyak hal. Dari uang, waktu, hingga nyawa.

Agresi Militer Belanda I tak membuat nyali segenap rakyat Indonesia menurun. Namun, pada Agresi Militer II (19-20 Desember 1948). Narasi ketakutan dan ketidakpastian tersebar ke mana-mana. Apalagi Yogyakarta yang notabene pusat pemerintahan Indonesia dibombardir habis-habisan oleh Belanda. Ratusan kaum bumiputra jadi korban jiwa.

Pesawat NICA terus-terusan mengintai di atas Gedung Agung. Seisi ruangan panik bukan main. Bahkan, Bung Karno sendiri selalu waspada dengan memakai topi baja. Lagi pula bom sempat dijatuhkan di seberang muka Gedung Agung.

Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Namun, Belanda tak gegabah. Pihak Belanda coba menyampaikan pesan kepada ajudan Bung Karno untuk menyambut Kapten Fosveld yang akan ke Gedung Agung. Kedatangannya membawa pasukan bersenjata lengkap pada 19 Desember 1948.

Pasukan itu mengarahkan moncong senjatanya ke Gedung Agung. Tujuannya untuk melanggeng teror supaya pemimpin Indonesia menyerah. Akhirnya, pertemuan itu diakhiri dengan penangkapan Soekarno, Hatta, dan pejabat lainnya. Mereka kemudian diasingkan ke Pulau Bangka.  

“Tak lama berselang datanglah tentara musuh yang memasuki halaman Gedung Negara. Para pengawal bersiap-siap, ternyata dalam pertempuran tadi ada banyak dari pihak kita yang gugur di depan istana. Aku menggendong bayi Megawati diikuti oleh orang-orang lain ke luar dari persembunyian, menuju ruangan tempat Bung Karno selalu memberi kursus untuk wanita. Kami disongsong oleh pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Tadi. Tentara ini berpakaian loreng seperti warna macan, persis di dalam mimpiku.”

“Kaptennya memperkenalkan diri dengan congkak. Bung Karno memperkenalkan aku serta para keluarga lainnya dan kemudian mengadakan pembicaraan dengan kapten itu. Aku tidak dapat mengikuti apa yang dibicarakan antara kapten dan Bung karno. Beberapa hari setelah pertemuan itu Bung Karno dan Bung Hatta diangkut ke Pulau Bangka. Para keluarga ditinggal di Yogyakarta,” cerita Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)