Asal-Usul Air Kemasan: Ide Aneh yang Ternyata Membawa Keuntungan Abadi

JAKARTA - Kemarin malam, Rabu, 2 September, penyanyi Raisa Andriana jadi trending topic Twitter. Iklan mereka air minum yang ia bintangi jadi bahasan. Netizen mempertanyakan, siapa yang sehari-hari mengangkat galon di rumah Raisa. Kami tak di sana. Yang akan kami bahas dalam artikel ini adalah sejarah air minum kemasan, di mana galon adalah salah satu bagiannya.

Dalam video iklan itu Raisa terlihat menuang air dari galon ke baskom. Adegan sederhana yang ajaib memancing keriuhan luar biasa. Raisa menjawab pertanyaan besar warganet dengan mengunggah video sang suami, Hamish Daud yang tengah mengangkat galon.

"Ok, guys. Aku mau bikin klarifikasi, ya. Siapa pengangkat galon di rumahku. Jangan pada penasaran lagi, ya," tulis Raisa, dikutip Kamis, 3 September.

 

Sejarah air minum kemasan

Dalam berbagai litelatur, disebutkan sosok yang menjadi perintis utama lahirnya air minum kemasan di Indonesia adalah Hendrik Freerk Tillema, seorang Belanda kelahiran 1870. Tahun 1910-an, Hendrik Freerk memperkenalkan air minum kemasan bermerek Hygiea ke penduduk Hindia-Belanda (Indonesia) di Semarang.

Kala itu, terobosan Hendrik Freerk dianggap begitu aneh. Tak banyak orang tertarik dengan produk air minum kemasan yang ia jual. Hygiea pun gagal laku di pasaran. Pada dekade-dekade selanjutnya, seorang petinggi Pertamina, Tirto Utomo meniru langkah Hendrik Freerk.

Pria bernama Tionghoa Kwa Sien Biauw menciptakan produk air minum kemasan bernama Aqua. Produk itu lahir dari rahim perusahaan bumiputra, PT. Golden Mississippi. Seperti pada massa Hendrik Freerk memperkenalkan Hygiea, masyarakat di tengah masa lahirnya Aqua pun memandang aneh.

Banyak di antara masyarakat yang meragukan langkah Tirto. "Air minum dibotolkan, siapa yang mau beli?” atau “Air sumur saya bagus, buat apa saya beli air mahal,” bunyi narasi keraguan kala itu.

Tirto tak patah. Keinginannya menyediakan air minum bersih dan sehat sejalan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, yang belakangan mulai peduli kepada gaya hidup sehat. Tirto bersikukuh, meski air ledeng dari PAM (perusahaan air minum) boleh diminum tanpa dimasak, bisnis air mineral tak akan goyah.

Ilustrasi foto (Jonathan Chng/Unsplash)

Aqua pun tetap berdiri. Tirto menjual pemrosesan Aqua sebagai produk air minum yang telah melalui penyinaran ultraviolet dan ozonisasi. Hal itu ia sebut dapat memastikan Aqua bebas dari kontaminasi zat apapun. Kelak, sumber air Aqua pun diambil dari pegunungan. Hal itu dilakukan untuk menjamin kemurnian. Dan yang lebih penting, guna mengambil hati konsumennya.

Namun, segala langkah itu tak membuat Aqua laku keras. Meski hari ini Aqua tumbuh sebagai merek yang begitu ternama, di awal-awal perintisannya, Tirto sempat mengalami kesulitan yang begitu banyak. Masalahnya beragam, mulai dari kemasan kaca hingga target pasar --didominasi orang asing-- yang kala itu masih memandang rendah kualitas produk Indonesia.

Tercatat, hingga 1978 Tirto masih bergulat menjual Aqua berbahan kaca yang pasarnya tampak terbatas. Hanya kalangan kaya dan sangat kaya yang dapat membelinya. Dalam kesukaran itu, Tirto memiliki ide untuk mencoba membuat Aqua berbahan kemasan plastik dan cara itu terhitung ampuh, terutama saat Aqua versi kemasan galon diluncurkan.

Dalam laporan majalah Tempo berjudul Menyiasati Rasa Dahaga (1986), dikisahkan bagaimana pemasaran Aqua terus meningkat, terutama setelah perusahaan juga memproduksi mesin (dispenser) untuk botol Aqua ukuran lima galon. Kala itu perusahaan meminjami dispenser-dispenser itu, di mana penyebarannya terbatas di kantor-kantor.

Sejak itu permintaan terhadap Aqua, terutama galon dan dispenser meningkat. Tirto dan kolega kini mendapat pasar baru: rumah tangga. Melayani pasar rumah tangga dalam skala terbatas, Tirto betul-betul mulai kerepotan. “Saya repot melayani permintaan dispenser.”

"Meningkatnya permintaan Aqua dari konsumen membuat Tirto mengajukan izin penambahan produksi. Izin yang diberikan kala itu adalah untuk 80 juta liter per tahun. Padahal, kapasitas mesin yang dimiliki 120 juta liter pertahun,” tulis laporan Tempo.

Ide awal Tirto

Dikutip Charlie Lie dalam buku Kilas kilau bisnis (2006), Tirto yang dikenal sebagai salah satu petinggi Pertamina seringkali bertugas menjamu tamu kenegaraan pada 1970-an. Tirto memiliki keistimewaan kala itu. Ia selalu berhasil menemukan restoran dengan sajian masakan lezat khas Indonesia. Meski begitu, Tirto tak pernah bisa mendapatkan minuman berupa air bening yang steril.

“Tentu semua restoran menyediakan air bening yang dapat diminum. Namun, meski dapat diyakini sudah dimasak matang, banyak air minum di restoran yang seringkali menyebabkan tamu sakit perut,” tulis Charlie Lie.

Bahkan, Tirto memiliki pengalaman, bagaimana seorang tamunya mengalami sakit perut karena meminum langsung air dari keran. Kala itu, Tirto yang tak jadi ikut rapat negosiasi gas alam cair pada 1971, kemudian memilih menuju ke rumah sakit untuk menjenguk istri salah seorang tamu yang sedang sakit karena minum langsung dari air keran.

“Istri tamunya itu menderita diare berat. Usut punya usut, kedapatan bahwa para tamu itu telah melakukan kesalahan besar: minum air dari keran ... Pada Mulanya, Seorang Kawan Diserang Diare”, tulis Bondan Winarno di Prisma edisi nomor 5, Mei 1987.

Berdasarkan pengalaman itu, Tirto memperolah inspirasi untuk memproduksi air minum kemasan. Tirto percaya diri karena bisnis serupa telah dijalankan di luar negeri dan teknologinya sudah ada. Oleh sebab itu, Tirto mencoba menceritakan idenya kepada rekan-rekannya. Ide itu kemudian direalisasikan. Awal yang mengubah kebiasaan banyak orang Indonesia hingga kini.