<i>Prank</i> Politik Dua Seteru
Prabowo dan Jokowi dalam "Pertemuan MRT" (Instagram/@jokowi)

Bagikan:

Dalam artikel "Prank Restoran Fiktif Oobah Butler untuk TripAdvisor", kita telah membahas bagaimana seorang penulis Inggris mengerjai habis-habisan sebuah situs panduan perjalanan. Prank-nya meledak di seluruh dunia. Bagian dari Tulisan Seri VOI "Prank! Prang! Prong!", lewat artikel ini kita akan melihat bagaimana prank nyatanya juga dipraktikkan dalam ranah kehidupan berpolitik.

Tahun 2018 lalu, seniman sekaligus aktivis Ratna Sarumpaet sukses membuat gempar. Ia berhasil memanipulasi keyakinan banyak orang tentang cerita palsu yang dibuatnya. Kala itu, foto Ratna dengan wajah penuh lebam tersebar. Ratna kemudian angkat bicara, berkisah bahwa lebam itu disebabkan oleh penganiayaan yang ia alami.

Kabar itu mengundang simpati banyak pihak. Bahkan, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang saat itu mencalonkan diri sebagai calon presiden berkehendak menemui Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian untuk membicarakan dugaan penganiayaan terhadap Ratna. Namun, belakangan kabar itu dinyatakan hoaks. Lebam di wajah Ratna nyatanya adalah dampak dari operasi plastik yang ia jalani.

Dengan luasnya dampak yang ia timbulkan, Ratna tak hanya berhak mendapat gelar sebagai pembuat hoaks terbaik, tapi juga Ratu Prank paling ulung. Bayangkan, tanpa niat nge-prank saja, Ratna berhasil membodohi begitu banyak orang. Kami tak asal bicara.

Sebab, menurut kamus Cambridge, mereka mendefinisikan prank sebagai trik untuk mengerjai orang dengan tujuan menghibur. Barangkali Ratna tak cukup menghibur, setidaknya Ratna berhasil "membuat orang lain terlihat bodoh," sesuai lanjutan dari definisi prank menurut kamus Cambridge.

Gambar kesempurnaan prank Ratna juga ditegaskan oleh salah satu esensi dalam konsep prank yang disampaikan Moira Marsh. Lewat buku rilisan 2015, Practically Joking, Marsh menjelaskan salah satu esensi prank adalah membuat orang terkecoh dari realitas. Atau dengan kata lain, prank sukses adalah yang memengaruhi tindakan seseorang berdasar kesadaran palsu.

Ratna Sarumpaet mengenakan baju tahanan (Diah Ayu Wardani/VOI

Prank Prabowo dan Jokowi

Prank wajah lebam Ratna Sarumpaet pun berakhir. Ratna divonis dua tahun penjara untuk perkara penyebaran berita bohong. Namun, prank-prank dalam dunia politik tak selesai di sana. Melewati gelaran pemilu, prank-prank lain bermunculan. Prank yang bahkan melibatkan dua petarung utama Pemilu 2019: Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi).

Pengumuman nama-nama menteri dalam Kabinet Indonesia Maju adalah salah satu momen yang paling mengejutkan selepas Pemilu 2019. Prabowo yang semula berhadapan sebagai lawan sengit malah merapat ke pemerintahan bersama Jokowi sebagai menteri pertahanan. 

Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno memandang bergabungnya Prabowo ke pemerintahan sebagai dagelan yang menyebalkan. Dan yang jelas, praktik politik yang diperlihatkan Prabowo adalah pembodohan. Tak lebih dari upaya bagi-bagi kuasa yang amat jauh melenceng dari semangat membumikan pendidikan politik yang bermartabat.

"Enggak lucu (prank). Orang yang selama ini head to head ekstrem kemudian berkongsi dalam satu kolam koalisi ... Ya, inilah potret demokrasi kita. Menyebalkan," kata Adi kepada VOI, 11 Desember.

Kabinet Indonesia Maju (Dokumentasi Setkab)

Jokowi, sama saja. Sang Presiden nyatanya juga memeragakan prank dalam konteks yang lagi-lagi hanya memenuhi unsur pembodohan. Jelas, tak ada unsur hiburan dalam prank Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dengan berbagai janji dan narasi antikorupsi yang diucap Jokowi selama periode pertama pemerintahan dan masa kampanye, rakyat memegang harapan besar kepadanya. Masyarakat pun mafhum bahwa presiden adalah harapan yang seharusnya jadi pucuk perlawanan pada korupsi yang menyengsarakan rakyat.

Pun ketika wacana RUU KPK bergulir. Kala itu Jokowi menyatakan penolakan terhadap sejumlah poin dalam RUU KPK yang dianggap melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Sayang, harapan pada Jokowi pupus. Di awal periode kedua kepemimpinan Jokowi, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) malah sepakat mengesahkan RUU KPK menjadi UU.

Keputusan tersebut disayangkan. Sebab, revisi UU KPK dipandang bermuatan berbagai unsur pelemahan upaya pemberantasan korupsi. Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar, misalnya. Ia memandang revisi UU KPK sejak awal telah diniatkan untuk hajat busuk. 

"Itu siasat saja. Itu bagian dari pelemahan. Niat dan motifnya sudah negatif karena itu buru-buru. Urat malunya sudah hilang," kata Abdul dikutip CNN Indonesia.

Prank Jokowi berlanjut ketika gelombang besar massa turun ke jalan memprotes UU KPK dan berbagai UU lain yang dinilai bermasalah. Jokowi sempat menahan sikap begitu lama untuk merespons gejolak itu, hingga akhirnya ia mewacanakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menganulir pengesahan UU KPK. Gelombang massa mereda. 

Demo mahasiswa tolak RUU KPK dan RUU KUHP di Gedung DPR (VOI)

Namun, Perppu yang diwacanakan Jokowi nyatanya tak juga terealisasi. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menyebut Jokowi sejak awal hanya memainkan wacana untuk mengendalikan keadaan. Pun ketika ia menolak empat poin RUU KPK.

"(Penolakan) Omong kosong dan pemanis saja ... (Wacana) menyenangkan sebagian pendukung yang beberapa hari terakhir kecewa," kata Zaenur dikutip Tirto.

Ikuti Tulisan Seri edisi ini: Prank! Prang! Prong