Perjalanan Gelaran Konser Musik di Indonesia
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

Tulisan ini masih bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Mengusik Gelaran Musik". Sebelumnya, dalam artikel "Tentang Gelaran Musik dengan Konsep dan Nilai Menarik", kami mengulas konser musik dengan konsep yang tidak umum. Sekarang, dalam tulisan kali ini, kami mau berdongeng tentang perjalanan konser musik yang ada di Indonesia.

Konser musik di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Tak semuanya indah, Indonesia punya pasang surut dalam festival musik. Namun yang pasti, baik dan buruk hasilnya, pada awalnya pasti memiliki tujuan yag sama; mengisi kehausan akan penikmat musik. Para pemusik diberi kebebasan untuk menyampaikan musiknya, penonton diberi kebebasan untuk menikmati musiknya.

Mundur ke puluhan tahun lalu atau tepatnya pada 1975, Indonesia didatangi oleh band luar negeri untuk pertama kalinya. Konser tersebut diselenggarakan 10 tahun setelah peristiwa 1965. Sebelumnya, band asal luar negeri dilarang ke Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno. Soekarno yang anti Barat dan kolonialisme, melarang musik populer yang berhubungan dengan barat untuk masuk ke tanah Air karena dianggap sebagai penjajahan model baru. 

Deep Purple menjadi band asal luar negeri pertama yang berkonser di Indonesia. Band beraliran hard rock tersebut berhasil membius 150 ribu penonton di Stadion Senayan, yang sekarang menjadi Stadion GBK. Konser di stadion terbesar di Asia dan sambutan yang luar biasa dari rakyat Indonesia, membuat konser tersebut menjadi yang paling berkesan bagi Deep Purple, mengingat saat itu masyarakat Indonesia tengah menghadapi permasalahan politik; peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru. Konser tersebut dibuka oleh band Indonesia, God Bless, yang kala itu baru berdiri selama 2 tahun.  

Sayangnya konser tersebut diwarnai insiden kericuhan. Banyak penonton yang memaksa mendekati panggung agar dapat melihat Deep Purple lebih jelas. Selain itu, banyak yang merangsek masuk padahal tidak membeli tiket. Bahkan terjadi kericuhan antara penonton dan pihak keamanan. 

Dikutip dari Circus Magazine edisi 23 Maret 1976, pihak keamanan sempat menembakkan peluru karet. Salah satu anggota Deep Purple, Jon Lord, bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri terdapat seekor anjing menyeret seorang anak muda hingga bersimbah darah. Akibat kerusuhan tersebut, Stadion Senayan mengalami kerusakan berat. 

Pada 1991, di mana Indonesia tidak sebebas sekarang, sebuah konser termewah dan terbesar pertama kali di Indonesia dilangsungkan oleh Kantata Takwa. Dengan tatanan lampu yang megah dan digelar di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, konser musik tersebut berhasil meraup penonton sebanyak 150 ribu orang, yang pada saat itu memecahkan rekor. Kapasitas stadion hanya 88 ribu orang, akibatnya konser tersebut sempat ricuh karena kelebihan kapasitas. Penonton tribun memaksa masuk ke area festival dan kericuhan terjadi di luar stadion juga memaksa masuk ke area konser. Namun kericuhan tersebut tak menghilangkan ingar bingar konser band yang beranggotakan Iwan Fals, Jockie Suprayoga, Sawung Jabo, dan Setiawan Jodi tersebut. 

Uniknya, rekor penonton terbanyak yang diraih oleh Kantata Takwa dikalahkan oleh Iwan Fals sendiri. Pada 2014, Iwan Fals menggelar konser di Monas bertajuk 'Suara untuk Negeri'. Konser tersebut berhasil meraup penonton sebanyak 200 ribu orang dan berhasil menjadi rekor konser musik dengan penonton terbanyak di Indonesia. 

Kelahiran konser bergenre musik alternatif 

Konser musik yang mendorong lahirnya musik alternatif di Indonesia digelar pada 1996. Diadakan oleh promotor Java Musikindo, Jakarta Pop Alternative Festival digelar. Konser tersebut diisi oleh Foo Fighters, Sonic Youth, dan Beastie Boys di Plaza Timur Senayan, Senayan. Festival musik tersebut juga diisi oleh band-band Indonesia seperti PAS Band, Netral, dan Nugie. 

Kehebatan PAS Band kala itu membuat vokalis Foo Fighters berdecak kagum. Dave Grohl tak sungkan-sungkan memberikan pujian tersebut kepada PAS Band. 

"Mereka bagus, pemain gitar, drum, bass apalagi vokalisnya. Mereka bakal menjadi band besar," ujar Dave saat diwawancarai di belakang panggung, dikutip dari Hai

Meski demikian, konser tersebut diwarnai oleh insiden kericuhan. Para penonton yang tidak memiliki tiket memaksakan diri untuk masuk ke area konser. Pihak keamanan segera mengamankan kondisi tersebut dengan anjing penjaga. Beruntungnya konser tersebut bisa tetap berjalan dan tetap memberi kesan yang baik bagi Foo Fighters. 

Sayangnya pada saat itu, tidak banyak momen yang ditangkap mengingat pada waktu itu masih jauh dari era digital. Namun hal tersebut tidak mengurangi nilai Jakarta Pop Alternative Festival. Festival tersebut hingga kini masih dikenang sebagai konser musik alternatif terbaik di Indonesia. Kehebatan promotor kala itu yang berkolaborasi dengan MTV Asia untuk mengundang Foo Fighters yang tengah naik juga menjadi acungan jempol. 

Tragedi konser musik

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki sejarah kelam dalam konser musik. Pada 2008, band beraliran metal, Beside, mengadakan konser di Gedung Asia Afrika Culture Centre atau AACC, Bandung. Konser tersebut digelar sekaligus sebagai launching album perdana Beside yang bertajuk 'Against Ourselves'. Saking besarnya animo masyarakat, gedung berkapasitas 500 orang dipadati oleh sekitar seribu orang. 

Kericuhan tak bisa terhindari. Setelah konser usai, para penonton berduyun-duyun segera keluar karena tak kuat menghadapi kepadatan di dalam gedung tersebut. Hal yang tak terduga terjadi, 11 orang tewas akibat kehabisan napas. Peristiwa tersebut menyisakan duka kepada pencinta musik metal Indonesia, hingga akhirnya dikenal sebagai Tragedi AACC. Tragedi ini juga membuat pembatasan penonton konser musik rock atau metal yang memiliki massa yang besar di Bandung, bahkan ada yang dilarang.  

Tragedi tersebut melahirkan film dokumenter karya Yolanda Christianti berjudul 'Eargasm'. Film berdurasi 30 menit tersebut menampilkan wawancara dengan para pelaku skema musik Bandung dan wawancara dengan band Beside. Pada film Eargasm, tragedi AACC menjadi titik balik munculnya permasalahan konser di Bandung. Tak hanya membahas tragedi AACC, film tersebut juga enceritakan imbas dari tragedi tersebut terhadap masalah perizinan dan sponsor. 

Artikel Selanjutnya: Nasib Musisi Kala Batal Mentas