JAKARTA – Setelah terkubur di Kongres 2019, wacana jabatan Ketua Harian DPP PDI Perjuangan kembali mencuat menjelang Kongres 2025. Ketua Harian dianggap bisa membantu Ketua Umum PDIP, yang kemungkinan kembali dijabat Megawati Soekarnoputri untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat teknis.
Ya, sosok Megawati Soekarnoputri diketahui telah direkomendasikan untuk tetap menjadi Ketua Umum PDIP periode 2025-2030 melalui Rapat Kerja Nasional V yang berlangsung di Jakarta 24-26 Mei lalu. “Rakernas V Partai setelah mendengarkan pandangan umum DPD PDI Perjuangan se-Indonesia memohon kesediaan Megawati Soekarnoputri untuk dapat diangkat dan ditetapkan kembali sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, Periode 2025-2030 pada Kongres VI tahun 2025,” ujar Puan Maharani saat membacakan rekomendasi tersebut.
Politikus PDIP, Aria Bima mengungkapkan, bila posisi ketua harian memang disetujui, posisi Megawati sebagai ketua umum bisa berfungsi seperti majelis tinggi atau dewan syuro yang memiliki hak veto terhadap keputusan-keputusan teknis yang diambil oleh ketua harian. “Selain itu, posisi ketua harian juga bisa membantu proses regenerasi di internal PDI Perjuangan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan dari Ibu Megawati,” tuturnya.
Proses regenerasi kepemimpinan di PDIP memang kerap menjadi sorotan banyak pihak. Bagaimana tidak, figur Megawati telah menjadi Ketua Umum PDIP sejak berdirinya partai tersebut pada 1999 dan hingga saat ini pun parpol pemenang Pileg 2014 hingga 2024 tersebut tidak pernah memilki posisi ketua harian ataupun wakil ketua umum.
Seperti halnya menjelang Kongres 2019, isu regenerasi kepemimpinan dan posisi Ketua Harian PDIP juga melibatkan dua nama, yakni Puan Maharani dan Prananda Prabowo. Meski keduanya merupakan keturunan dari Megawati, selama ini publik justru melihat ada persaingan terselubung di antara keduanya. Persaingan ini yang sering disebut publik dengan Faksi Puan dan Faksi Nanan-sapaan akrab Prananda Prabowo-di internal PDIP.
Persaingan Faksi Puan dan Faksi Nanan berpotensi makin mendapat sorotan melihat situasi PDIP yang bisa disebut tengah dihantam badai. Kekalahan di Pilpres dan Pilkada 2024 di daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai “kandang banteng” terutama Jawa Tengah, menjadi pukulan tersendiri bagi PDIP. Belum lagi bila kita bicara soal pergeseran kepengurusan di DPP seperti Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul dan terakhir kasus hukum yang menyeret nama Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Situasi PDIP Saat Ini Jadi Momentum Puan dan Nanan Mengasah Kemampuan Politik
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro menilai, situasi yang terjadi di PDIP belakangan ini bisa menjadi momen yang tepat buat mengasah kemampuan dan naluri politik bagi Puan Maharani dan Prananda Prabowo, agar keduanya siap jika Megawati memutuskan melakukan regenerasi kepemimpinan. “Ini momen yang pas saya kira untuk membuat seorang Puan atau mas Prananda menjadi besar sebagaimana pendahulunya ya, ibu mereka, Ibu Mega, kakek mereka Soekarno,” imbuhnya.
BACA JUGA:
Menurut dia, masa-masa sulit justru bisa menjadi ruang bagi para politikus mengasah kemampuan dan nalurinya. Agung mencontohkan ketika Soekarno lengser digantikan oleh Soeharto, saat itu anak-anaknya, termasuk Megawati, juga terdampak. Megawati pun menemukan momentum dan menjadi salah satu politikus yang diperhitungkan ketika aktif di PDI pada masa pemerintahan Orde Baru, sampai akhirnya Presiden Soeharto berhenti akibat gelombang protes Reformasi pada 1998.
Selain itu, Megawati juga sudah membuktikan dia bisa mempertahankan eksistensi PDIP yang sempat menjadi oposisi dan berada di dalam pemerintahan. “Karena orang-orang besar yang saya sebutkan tadi besar dan lahir karena turbulensi hebat ya di dalam negeri. Bahkan punya 'ancaman-ancaman' dari luar juga. Jadi kalau memang mau melahirkan pemimpin besar lagi ya PDIP saya kira ini momen yang pas,” tegas Agung.
Pengamat politik, Muhammad Qodari mengatakan, di internal PDIP setelah era Megawati memang hanya ada dua kandidat penerus, yakni Puan atau Nanan. Tapi dia melihat, hingga saat ini tidak ada nama yang lebih dominan sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan. Karena itu, Qodari menilai Megawati akan tetap ada di PDIP sebagai penengah. “Kalau tidak ada Bu Mega, ada kemungkinan besar PDIP mengalami pembelahan. Nah, untuk menghindari situasi seperti itulah Bu Mega tetap ada di tengah-tengah mereka,” katanya.
Selain pembelahan, kehadiran Megawati juga diperlukan untuk menghindari masuknya pihak ketiga sebagai alternatif persaingan Faksi Puan dan Faksi Nanan. “Kalau tidak ada Bu Mega di sana ada ruang bagi masuknya kandidat ketiga. Kan biasa tuh di politik, lagi ribut nih A sama si B gitu Jalan tengahnya apa kandidat yang lain,” imbuhnya.
Menurut Qodari, Megawati akan jadi Ketua Umum PDIP seumur hidup bila dinamika yang ada di internal antara Faksi Puan dan Faksi Nanan tidak menemukan benang merah atau solusi. Meski juga tidak menutup kemungkinan di Kongres 2025 akan menjadi momentum di mana Megawati akan memutuskan lebih memilih Puan atau Nanan. “Menurut saya, Bu Mega kalau mau salah satu itu mau suksesinya mulus ya mau enggak mau dia harus memprioritaskan salah satu. Dia harus memilih siapa putra mahkotanya. Per hari ini saya melihat Bu Mega kayak susah untuk memilih putra mahkota itu. Jadi Bu Mega kalau enggak mau jadi ketua umum seumur hidup, ya dia harus memilih di Kongres yang akan datang siapa yang akan dia Jadikan putra mahkota. Nanti kita lihat di Kongres 2025, apakah 100 persen orang Puan atau 100 persen Nanan, atau masih tetap 50-50 seperti sekaran,” terangnya.
Puan dan Nanan Disebut Bisa Saling Melengkapi Regenerasi Kepemimpinan PDIP
Politikus senior PDIP yang enggan disebut namanya mengakui bahwa baik Puan maupun Nanan memang disiapkan untuk mengambil pucuk kepemimpinan PDIP jika Megawati memutuskan mundur dari jabatannya sebagai ketua umum. Karena itu, Megawati sendiri nanti yang akan memutuskan siapa yang diberikan tugas melanjutkan posisi Ketua Umum PDIP.
Dia menampik anggapan adanya persaingan antara Faksi Puan dan Faksi Nanan di internal PDIP. Menurutnya, baik Puan atau Nanan dapat diterima seluruh kader dan pendukung karena keduanya tidak lepas dari trah Soekarno. Apalagi, kedua figur itu dinilai bisa saling melengkapi mengingat karakter Puan dan Nanan yang berbeda.
Nanan dikenal sebagai sosok yang lebih banyak bekerja di belakang layar atau berperan sebagai pemikir strategis yang memainkan peran penting dalam merumuskan strategi politik dan kebijakan partai. Meskipun kurang terlihat di panggung publik, kontribusinya dalam membangun fondasi ideologis dan strategis PDIP tidak bisa diabaikan.
“Mas Nanan bisa dikatakan sering dianggap sebagai otak di balik banyak keputusan strategis partai. Dengan latar belakang pendidikan yang kuat dan pengalaman panjang di bidang politik, dia punya kemampuan untuk menganalisis situasi politik secara mendalam dan merumuskan langkah-langkah strategis yang tepat,” ungkapnya.
Di sisi lain, Puan telah membangun reputasinya sebagai politikus yang aktif dan tegas. Posisi sebagai Ketua DPR RI telah menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan mengelola berbagai dinamika politik di parlemen. “Mbak Puan punya kemampuan interpersonal yang bagus sehingga mampu menghubungkan para elite di level nasional. Dari sisi ini, dia punya keunggulan dibandingkan Mas Nanan. Dia juga dikenal sebagai sosok yang berani dan tegas dalam mengambil keputusan. Kepemimpinannya di DPR menunjukkan bahwa Mbak Puan mampu mengelola berbagai kepentingan politik dan menjaga stabilitas institusi,” sambungnya.
Tapi, direktur eksekutif Indostrategic, Ahmad Khoirul Umam menilai, faksionalisasi antara Puan dan Nanan sudah tercipta di internal PDIP. Hanya faktor Megawati Soekarnoputri lah yang mampu meredam isu faksionalisasi itu tidak semakin membesar dan berpotensi mengancam soliditas PDIP. Karena itu, hanya Megawati yang bisa menjembatani regenerasi kepemimpinan tersebut.
“Memang sudah saatnya PDIP melakukan regenerasi kepemimpinan. Megawati yang menjadi patron politik partai ini harus bisa menjembatani proses transisi ini menjadi lebih stabil dan tidak berimbas pada menguatnya faksionalisme dan konflik di internal keluarga trah Sukarno. Sebagai ibu bagi kedua kakak beradik itu, sekaligus patron politik PDIP, arah kebijakan Megawati tentunya akan diarahkan untuk menjamin stabilitas politik di internal partainya. Namun perlu diingat, proses peredaman itu belum tentu berhasil jika ada salah satu pihak yang tercongkel egonya. Pertentangan antar-ego inilah yang perlu diantisipasi dari konflik dan faksionalisme di internal PDIP,” jelasnya.