JAKARTA - Tujuh belas tahun berkuasa, akhirnya rakyat Chili bebas dari kekuasaan militer (1973-1990) yang dipimpin diktator Augusto Pinochet. Kekuasaan militer yang otoriter kalah oleh para penganut paham demokrasi. Saat itu tingkat identifikasi partai di negara tersebut menunjukkan tingkat tertingginya. Berdasarkan data dari Centro de Estudios Públicos (CEP), pada awal tahun 1990an, hampir empat dari setiap lima orang dewasa di Chili mengidentifikasi diri mereka dengan sebuah partai politik.
Namun setelah itu tepat di tahun 2016, realitas politik di negeri yang berada di Amerika Selatan itu tercatat hanya seperlima dari rakyat Chili yang menganut politik. Dan ini merupakan angka yang paling rendah dalam survei CEP, identifikasi partai mengalami penurunan lebih dari 60 poin persentase selama periode ini.
Mungkin saja penurunan drastis tersebut merupakan salah satu penjelasan paling dominan terhadap erosi sistem kepartaian di negara itu yang menganut sistem polarisasi ideologis. Di mana tingkat keberpihakan secara keseluruhan di kalangan masyarakat sangat terkait dengan sejauh mana partai politik memiliki spektrum ideologi yang berbeda. Meskipun polarisasi ideologi memungkinkan berkembangnya keterikatan partisan ( Bornschier, 2019 ; Lupu, 2015b ), konvergensi ideologis mengikis keterikatan tersebut (Lupu, 2013 , 2014 , 2016).
Dalam artikel yang ditulisnya di jurnal Cultural Studies of the Americas (2004), Ahli budaya Nelly Richards berargumen periode otoriter memunculkan dua identitas politik yang berbeda dan antagonis: pendukung kediktatoran militer dan pendukung demokrasi. Jelas terlihat melalui pemungutan suara tahun 1988 yang menandai transisi menuju demokrasi dan diwujudkan dalam dua koalisi politik utama (Konsertasi dan Aliansi), kedua identitas politik yang berbeda ini berperan sebagai pendorong utama konflik politik selama transisi menuju demokrasi.
BACA JUGA:
"Argumen saya didasarkan pada penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa sejak pemulihan demokrasi, persaingan politik di Chile sebagian besar terstruktur oleh perpecahan politik antara pendukung kediktatoran militer (1973–1990) dan pendukung demokrasi (Bargsted dan Somma, 2016 Huneeus dan Maldonado, 2003 ; Tironi dkk . , 2001," katanya Nelly Richards yang dikutip dari jurnal Cultural Studies of the Americas (2004).
Nelly juga mengungkapkan dari perpecahan pada pasca dan masa transisi politik di Chili menghasilkan sebuah residu yang dihasilkan dari bekas atau sisa-sisa luka yang masih ada dalam masyarakat, baik itu peninggalan yang bersifat ideologis, kebiasaan, maupun sentimen. Dan dia menegaskan residu itu memiliki sifat negatif seperti halnya residu dalam proses zat kimia.
Dari perpecahan yang terjadi di Chili apakah para elite di Indonesia tidak mau belajar dan tetap mengorbankan masyarakat di akar rumput tetap berkelahi dengan tema politik identitas? Di mana kita semua menyadari bahwa pada tahun 2019 keutuhan dan kesatuan bangsa nyaris terancam dengan adanya istilah dua kelompok cebong, kadrun, buzzerp dan kampret. Ironisnya, istilah-istilah itu merupakan bagian dari residu di Indonesia pasca Pilpres 2019 namun masih tetap berusaha dipertahankan hingga hari ini. Sementara para elitnya sudah bersatu dan saling mendukung namun polarisasi dan politik identitas masih berusaha dipertahankan?
Para Analis dan Teori Politik Identitas
Politik identitas merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Politik identitas memiliki nama lain biopolitik yang mengusung politik perbedaan. Biopolitik mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh. Kedua konsep berpolitik ini mulai mengemuka setelah dikaji dan disimposiumkan pada suatu pertemuan internasional Asosiasi lmuan Politik Internasional di Wina pada 1994.
Pertemuan tersebut menghasilkan konsepsi tentang dasar-dasar praktek politik identitas dan menjadikannya sebagai kajian dalam bidang ilmu politik. Agnes Haller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama.
Politik perbedaan menjadi suatu nama baru dari politik identitas; rasisme (race thinking), biofeminimisme dan perselisihan etnis menduduki tempat yang terlarang oleh gagasan besar lama. Berbagai bentuk baru intoleransi, praktek-praktek kekerasan pun muncul.
Dalam situasi keterserakan identitas dan entitas-entitas perbedaan, politik perbedaan sangat subur dalam situasi negara atau masyarakat yang multikultural dan multietnis. Dalam kerangka ini, hubungan interaktif antarkelompok perbedaan, terutama kelompok etnis yang berbeda-beda harus menjalin suatu kerangka etis, dalam hal ini adalah sikap toleran.
Toleransi politik hanya mungkin dalam suasana politik negara yang demokratis. Oleh karena toleransi politik (political tolerance) sangat dipengaruhi oleh sistem, struktur, dan atmosfer politik yang berlaku. John Sullivan dalam Hefner (2007) yang menganalisis konsep dan penerapan toleransi politik di tiga negara yang berbeda: Amerika Serikat,Selandia Baru, dan Israel, menemukan kadar intensitas toleransi yang berbeda-beda.
Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain tingkat kemakmuran ekonomi, struktur dan sistem politik, faktor psikologi politik. Konsep politik identitas relevan untuk diterapkan, paling tidak diwacanakan mengingat peta politik masa depan, yang berkembang ke arah politik yang beragam, lebih melihat kembali pada tataran humanitas dan etik.
Sejalan dengan Mulgan, Walter Lippmann dalam Heller and Riekmann, Biopolitic, Hefner (2007) dalam filsafat publiknya mendorong para politikus demokrasi untuk
menjunjung tinggi moralitas berpolitik. Hal ini dikarenakan dalam negara-negara demokratis sekalipun penyakit dari terbukanya kebebasan akan senantiasa muncul, sehingga perlu adanya suatu tatanan etika dan moralitas demokrasi.
Klaus Von Beyme dalam Hefner (2007) menganalisis karakter gerakan identitas dalam beberapa tahap perkembangannya, mulai dari tahap pramodern sampai dengan
postmodern. Perpecahan fundamental, kelompok-kelompok kesukuan dan kebangsaan memunculkan gerakan sosial politik yang menyeluruh. Dalam hal ini mobilisasi secara ideologis diprakarsai oleh para pemimpin. Tujuannya adalah perampasan dan perebutan kekuasaan dari suatu penguasa ke penguasa yang baru.
Pada tahap modern, gerakan tersebut muncul dengan adanya pendekatan kondisional, keterpecahan membutuhkan sumber-sumber untuk dimobilisasi. Terjadi keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi dari bawah, peran pemimpin tidak lagi dominan dan tujuan akhirnya adalah pembagian kekuasaan. Kemudian pada perkembangan pos modern, munculnya gerakan-gerakan itu berasal dari dinamikanya sendiri, protes muncul atas berbagai macam kesempatan individual, tidak ada satu kelompok atau pecahan yang dominan.
Pola aksi dan kegiatannya berdasarkan kesadaran diri yang bersifat otonomi sebagai tujuan finalnya. Kemunculan politik etnis diawali dengan tumbuhnya kesadaran yang
mengidentikkan mereka kedalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu.
Catatan Polarisasi di Indonesia
Peneliti media asal Australia Natonal Universtiy, Ross Tapsell dalam laman New Mandala memberikan pertanyaan yang perlu dijawab dengan penuh kesadaran oleh segenap rakyat Indonesia saat ini. Tulisan ini diterbitkan pada tanggal 22 Maret 2019 yang berjudul The polarisation paradox in Indonesia’s 2019 elections. Dalam Pilpres 2019, kedua kandidat calon presiden yakni Jokowi sebagai petahana dan Prabowo sama-sama memiliki 'pasukan udara' yang bertugas menciptakan, meredam atau malah memproduksi kampaye hitam di dunia maya.
Bahkan pada Pilpres 2024, Prabowo malah didukung Jokowi dan berhasil menjadi presiden terpilih beserta pasangannya. Namun kenyataan saat ini seolah-olah mengesampingkan adanya residu polarisasi yang dialami oleh masyarakat khususnya di akar rumput.
Para pendukung Prabowo-Sandi umumnya berlatar-belakang kelompok Islam-Nasionalis sedangkan pendukung JokowiMa'ruf Amien umumnya berlatar belakang sekular-nasionalis. Pada masa kampanye, kedua pihak cukup sengit memperjuangkan masing-masing kandidatnya.
Dalam komunikasi politiknya, kelompok Sekular -nasionalis mengklaim dirinya paling Pancasilais dan pembela NKRI harga mati sekaligus mengolok-olok lawan dengan julukan Kadrun alias kadal gurun dan kampret , sesuatu yang membangkitkan amarah sekaligus menimbulkan garis pemisah sosial yang semakin kentara di tengah masyakarat. Sebagai balasannya kelompok pendukung Prabowo-Sandi menjuluki lawannya Cebong.
Residu yang dihasilkan dari ujaran kebencian bersifat rasis dari kedua kelompok Cebong, Kampret tentu akan selalu menjadi sejarah di bangsa ini. Hal ini belum ditambah dengan kematian para demonstran yang terjadi di gedung Bawaslu pada aksi 21-22 Mei 2019 yang memprotes hasil Pilres 2019. Kematian mereka seakan tidak memiliki harga di mata para elit negeri.
Awal Istilah Polarisasi
Friksi cebong dan kampret itu demikian kerasnya, hingga membuat banyak orang sangat prihatin. Kecemasan akan keutuhan dari negara kesatuan dan persatuan bangsa yang susah payah dibangun oleh para founding fathers. Sedihnya, hampir kebanyakan politisi terlalu dimabuk kekuasaan dan cenderung mendiamkan ancaman marabahaya kebangsaan ini.
Istilah cebong atau kecebong yang diidentikkan dengan pendukung dari Jokowi, muncul pada bulan Mei 2015 dan semakin banyak percakapan tentang Jokowi dan putranya Gibran di bulan Agustus 2015.
Penggunaan istilah cebong jauh sebelum pemberitaan Presiden Jokowi melepas kodok di kolam Istana Bogor pada 3 Januari 2016. Peristiwa itu kerap dianggap sebagai inspirasi penggunaan cebong sebagai sebutan pendukung Jokowi.
Dan penggunaan kampret untuk merujuk pendukung Prabowo digunakan sejak Oktober 2015. Sebagai bentuk balasan panggilan cebong yang ditujukan kepada pendukung Jokowi. Namun, baru populer digunakan istilah kampret ada pertengahan 2018.