Bagikan:

JAKARTA - Seorang pengacara di New York, Amerika Serikat (AS) menggunakan ChatGPT untuk tujuan penelitian hukum, tetapi kini dia menghadapi masalah di sidang pengadilan karena informasi yang diberikan palsu oleh chatbot.

Kasus tersebut bermula ketika seorang pria menggugat sebuah maskapai penerbangan atas dugaan cedera pribadi. Tim hukum penggugat Peter LoDuca adalah pengacara yang menghadapi sidang pengadilan dan rekannya, yang menggunakan ChatGPT untuk penelitian, merupakan Steven A Schwartz dari firma hukum Levidow, Levidow & Oberman.

Keduanya kemudian mengajukan ringkasan dengan mengutip beberapa kasus pengadilan sebelumnya untuk mendukung argumen menggunakan ChatGPT, mereka berusaha menetapkan preseden hukum pada klaim mereka.

Namun, pengacara maskapai menemukan beberapa kasus yang dirujuk tidak ada. Schwartz telah menjadi advokat selama lebih dari 30 tahun.

Dia menyesal telah menggunakan alat besutan OpenAI itu, dan menyatakan, "Sebelumnya tidak pernah menggunakan AI untuk penelitian hukum dan tidak menyadari bahwa isinya mungkin salah," ujar Schwartz.

Diketahui, ChatGPT memang bekerja membuat teks asli berdasarkan permintaan, tetapi dilengkapi dengan peringatan yang dapat menghasilkan informasi yang tidak akurat.

Hakim yang memimpin kasus itu, Kevin Castel mengungkapkan keterkejutannya atas situasi tersebut dan menyatakan sebagai keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam perintahnya, dia meminta penjelasan dari tim hukum penggugat.

"Enam dari kasus yang diajukan tampaknya merupakan keputusan pengadilan palsu dengan kutipan palsu dan kutipan internal palsu," ujar Hakim Castel.

Tangkapan layar yang dilampirkan pada pengarsipan menunjukkan percakapan antara Schwartz dan ChatGPT. Dalam prompt, Schwartz bertanya apakah kasus tertentu, seperti Varghese v. China Southern Airlines Co Ltd, asli.

ChatGPT lalu menegaskan keasliannya, menunjukkan kasus tersebut dapat ditemukan di database referensi hukum seperti LexisNexis dan Westlaw.

Namun, penyelidikan selanjutnya menyatakan kasus tersebut tidak ada, menyebabkan keraguan lebih lanjut tentang kasus lain yang disediakan oleh ChatGPT.

Karena insiden ini, baik LoDuca dan Schwartz telah dipanggil ke sidang disipliner mendatang pada 8 Juni untuk menjelaskan tindakan mereka.

"(Kami) tidak pernah menggunakan AI untuk melengkapi penelitian hukumnya di masa depan tanpa verifikasi mutlak keasliannya," tutur LoDuca.

Melansir IndiaToday, Senin, 29 Mei, jutaan orang telah menggunakan ChatGPT sejak diluncurkan pada November 2022. Meski begitu, bukan kali pertama ChatGPT menyebabkan masalah dengan menciptakan kejadian yang tidak pernah terjadi.

Tepat sebulan yang lalu, chatbot itu pernah menuduh seorang profesor melecehkan seorang siswa secara seksual dan membuat artikel berita tentang hal tersebut. Kenyataannya, artikel berita tidak pernah ditulis.