Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk membubarkan 10 lembaga negara nonstruktural. Dua di antaranya merupakan Badan Pertimbangan Telekomunikasi (BPT) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2020 yang ditandatangani Jokowi pada 26 November 2020 lalu. Perpres pembubaran tersebut telah ditandatangani Jokowi tertanggal 26 November dan kemudian diundangkan oleh Menkum HAM Yasonna Laoly.

Mengutip isi prepres tersebut, dibubarkannya kedua lembaga tersebut dilakukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintah, sekaligus rencana strategis pembangunan nasional. Selanjutnya peran dan tugas lembaga itu akan dikembalikan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Diketahui Badan Pertimbangan Telekomunikasi (BPT) terbentuk dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 dan Kepres Nomor 55 Tahun 1989. Adapun tugasnya untuk memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada Pemerintah dalam rangka perumusan kebijaksanaan dan penyelesaian permasalahan yang sifatnya strategis di bidang telekomunikasi.

Sementara untuk BRTI sendiri, merupakan lembaga yang berfungsi sebagai badan regulator telekomunikasi di Indonesia. BRTI dibentuk melalui Undang-Undang 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Fungsi dan wewenang BRTI terbagi dalam tiga, yaitu pengaturan, pengawasan, dan pengendalian. 

BRTI juga merupakan bagian dari Kominfo yang terdiri dari Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, dan Komite Regulasi Telekomunikasi yang terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.

Pembubaran BRTI

Dihubungi secara terpisah, Komisioner BRTI Kominfo, I Ketut Prihadi Kresna Murti mengatakan ia dan para komisioner lainnya akan melakukan rapat dengan Menteri Kominfo, Johnny G. Plate, untuk membicarakan kelanjutan dari BRTI. 

"Kami baru akan bertemu dengan pak Menteri Kominfo untuk membicarakan hal ini besok. Jadi update-nya baru besok bisa disampaikan," ujarnya dalam pesan singkatnya kepada VOI.

Juru Bicara Kominfo, Dedy Permadi menjelaskan, pihaknya sedang melakukan koordinasi internal terkait keputusan Perpres yang diteken Jokowi pada 26 November tersebut. Menurutnya, saat ini belum ada informasi detail yang bisa dibagikan.

Dedy juga tidak memberikan keterangan soal nasib para ketua dan komisioner di dua lembaga, baik BRTI atau BPT. Namun, tugas dan fungsi yang saat ini sudah dijalankan masih tetap berjalan normal. Kedua lembaga tersebut berada di bawah Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kominfo.

"Sedang kami koordinasikan untuk melaksanakan dan segera menindaklanjuti Perpres tersebut. Informasi lebih detail belum bisa kami sampaikan," kata Jubir KemKominfo, Dedy Permadi.

Hilangnya Wasit Telekomunikasi 

Pembubaran BRTI mendapatkan kritikan dari mantan komisionernya sekaligus pengamat ekonomi digital, Heru Sutadi, ia meminta presiden untuk segera mempertimbangkan pembubaran tersebut. Heru menilai langkah pembubaran BRTI ini akan jadi sorotan dunia, karena pemain telekomunikasi Indonesia memerlukan wasit untuk menengahi.

"Mohon Bapak Presiden dapat mempertimbangkan kembali pembubaran lembaga ini, yang bukan sekadar ada atau tiada tapi amanat internasional yang didorong lembaga PBB yang mengurusi telekomunikasi, untuk menghadirkan regulator independen telekomunikasi,” ungkap Heru.

Membubarkan BRTI bukan hanya soal mencoret lembaga yang dibentuk berdasar UU Telekomunikasi, tapi tentu akan menjadi catatan dunia internasional. "Dengan tidak adanya BRTI, maka Indonesia akan jadi satu-satunya negara di ASEAN yang tidak memiliki badan regulasi telekomunikasi yang independen" tegasnya.

Menurut Heru, independen menjawab perubahan iklim bisnis telekomunikasi dari monopoli ke kompetisi, yang secara konsep internasional dibutuhkan adanya lembaga pengatur, pengawas dan pengendali telekomunikasi yang bebas dari kepentingan pemerintah (karena memiliki BUMN) dan pelaku usaha.

Meski jalan tengah kemudian tetap menjadi bagian dari pemerintah, tetapi tetap bebas dari kepentingan operator telekomunikasi. Heru sangat mengharapkan semoga ada pertimbangan kembali dari Presiden untuk meninjau keputusannya, dan mendengar sejarah berdirinya lembaga ini lebih dulu.

"Jangan kemudian kita dikucilkan dari pergaulan internasional dan berpengaruh terhadap investasi di sektor telekomunikasi yang kian penting seperti di masa pandemi ini," tutur Heru.