Bagikan:

JAKARTA - Netflix telah hadir di Indonesia sejak Januari 2016. Selama itu pula Netflix layanan video on demand tersebut pernah membayar pajak. Lantaran belum ada payung hukum untuk menarik pajak dari perusahaan over the top (OTT) yang beroperasi di luar negeri, seperti Netflix atau Spotify.

Karena itu, pemerintah diminta untuk segera mengklasifikasikan benyuk usaha Netflix. Anggota Komisi I DPR Bobby Rizaldi mengatakan, saat ini yang paling utama adalah mengklasifikasikan Netflix itu apa.

Tujuannya, kata dia, untuk mempermudah dalam mengatur regulasinya. Hal itu menurut Bobby, didasarkan adanya perbedaan pendefinisian Netflix dari beberapa kementerian.

"Butuh ketegasan pemerintah mendefinisikan service seperti Netflix ini apa dulu. Bentuknya seperti apa. Kami usulkan digital service dan subscription base media," ujar Bobby, pada diskusi yang diadakan di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Januari.

Sebab, menurut Bobby, jika definisi dan klasifikasi bentuk usaha Netflix sudah ditetapkan, langkah selanjutnya juga dapat diambil. Dalam hal ini, kata dia, memetakan kekosongan celah hukumnya.

"Dari situ ada bisa dipetakan kekosongan celah hukum. Celah hukum itu lah yang harus ditutup dengan segera, apapun caranya. Apakah dengan taktis saja, apakah dengan Perpres, atau dibuat UU itu agaknya sudah teknis. Sehingga dapat diisi kekosongan hukum dengan definisi yang baru," jelasnya.

Untuk menentukan klasifikasi Netflix, kata Bobby, pemerintah harus melihat pada unsur penyiran dan telekomunikasi di dalamnya. Menurutnya, Netflix sebagai layanan video streaming terdiri dari kedua unsur tersebut. Hal ini untuk mempermudah menggatur regulasi mengenai layanan tersebut.

"Perlu ada suatu gerak yang cukup dinamis dan aktif, memastikan ini klasifikasinya unsur penyiaran dalam bungkus telekomunikasi. Sehingga dua dua UU yang berbada ini jelas dasar hukumnya," jelasnya.

Terkait dengan perpajakan, kata Bobby, itu juga harus dirumuskan karena sejumlah layanan OTT lain di Indonesia, sampai saat ini belum menjadi Badan Usaha Tetap (BUT). Termasuk, dalam hal ini Nerflix.

"Sekarang kan kita masih bertanya-tanya, katanya melanggar? Kalau melanggar kok penegak hukum tidak bisa langsung mengambil? Katanya melanggar konten kenapa tidak langsung di-take down? Ini kan berarti dasar penegakan hukumannya saja ini masih harus dipertegas," tuturnya.

Karena menurutnya, jika ingin mempajaki BUT-nya Netflix, sampai saat ini BUT-nya saja belum ada. Pihaknya ingin pemerintah secepatnya menemukan formula mempajaki Netflix tersebut.

"Karena sekarang kita mau memajaki juga bingung dasar hukumnya apa. Mau mengikuti apa, pajaknya berdasarkan UU Telekomunikasi atau UU Penyiaran. Ini kan masih bingung," jelasnya.