JAKARTA - Kelompok hak asasi manusia pada Senin, 25 April, menyuarakan keprihatinannya tentang ujaran kebencian di Twitter. Apalagi platform media sosial itu akan diberikan kekuatan lebih oleh pemilik barunya, Elon Musk.
Konglomerat dunia itu sudah berjanji akan menjadikan Twitter sebagai platform kebebasan berbicara yang mutlak. CEO Tesla Inc., ini juga telah menyatakan diri sudah mencapai kesepakatan untuk menjadikan platform media sosial itu sebagai perusahaan privat.
Musk, telah menggambarkan dirinya sebagai penganut paham "absolut kebebasan berbicara" yang telah mengkritik kebijakan Twitter untuk memoderasi konten di platform mereka. Dia pernah mengatakan Twitter harus menjadi forum asli untuk kebebasan berbicara.
Dalam sebuah pernyataan setelah mengamankan kesepakatan pada Senin, 21 April, Musk menggambarkan kebebasan berbicara sebagai "dasar dari fungsi demokrasi."
"Terlepas dari siapa pemilik Twitter, perusahaan memiliki tanggung jawab hak asasi manusia untuk menghormati hak orang-orang di seluruh dunia yang bergantung pada platform mereka. Perubahan pada kebijakan, fitur, dan algoritme, besar dan kecil, dapat memiliki dampak yang tidak proporsional dan terkadang menghancurkan, termasuk kekerasan offline," ungkap Deborah Brown, peneliti hak digital dan advokat di Human Rights Watch, kepada Reuters melalui email.
"Kebebasan berekspresi bukanlah hak mutlak, itulah sebabnya Twitter perlu berinvestasi dalam upaya untuk menjaga keamanan penggunanya yang paling rentan di platform," tambahnya.
Twitter tidak segera menanggapi permintaan komentar atas kekhawatiran yang diajukan oleh kelompok tersebut.
BACA JUGA:
"Sementara Elon Musk adalah anggota pembawa kartu ACLU dan salah satu pendukung kami yang paling signifikan, ada banyak bahaya memiliki begitu banyak kekuasaan di tangan satu individu," kata Anthony Romero, direktur eksekutif di American Civil Liberties Union, kepada Reuters setelah kesepakatan diumumkan.
Amnesty International mengatakan prihatin dengan kemungkinan keputusan yang mungkin diambil Twitter setelah pengambilalihan oleh Musk untuk mengikis penegakan kebijakan dan mekanisme yang dirancang untuk memoderasi ujaran kebencian secara online.
"Hal terakhir yang kami butuhkan adalah Twitter yang dengan sengaja menutup mata terhadap kekerasan dan ucapan kasar terhadap pengguna, terutama mereka yang paling terpengaruh secara tidak proporsional, termasuk wanita, orang non-biner, dan lainnya," ungkap Michael Kleinman, Direktur Teknologi dan Hak Asasi Manusia di Amnesty International USA.