Bagikan:

JAKARTA - Baru-baru ini penelitian Kaspersky berjudul “Mapping a secure path for the future of digital payments in APAC” menunjukkan adanya korelasi positif antara kesadaran risiko ancaman terkait pembayaran digital dan penerapannya di Asia Tenggara (SEA).

Hampir seluruh responden di Asia Tenggara dengan 97 persen mengetahui setidaknya satu jenis ancaman terhadap platform pembayaran elektronik. Sementara hampir tiga dari empat (72 persen) secara pribadi mengalami setidaknya satu jenis ancaman yang terkait dengan teknologi ini.

Dalam banyak hal, kesadaran ini dapat dikaitkan dengan volume pemberitaan di media tentang insiden keamanan siber, terutama tahun lalu, dan upaya kolektif dari pemerintah bersama sektor swasta dalam meningkatkan kesadaran keamanan di tengah maraknya adopsi mobile banking dan e-wallet di wilayah tersebut.

Lebih dari seperempat responden mengalami penipuan rekayasa sosial melalui teks atau panggilan (37 persen), situs web palsu (27 persen), penawaran dan transaksi palsu (27 persen), dan seperempat melaporkan telah menerima penipuan phishing (25 persen).

Luar biasanya, penipuan rekayasa sosial adalah ancaman yang paling banyak ditemui di sebagian besar negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia (40 persen), Malaysia (45 persen), Filipina (42 persen), Singapura (32 persen), dan Vietnam (38 persen). Satu-satunya pengecualian adalah Thailand di mana ancaman yang paling banyak ditemui yaitu situs web palsu (31 persen).

Pada saat yang sama, dampak ancaman siber terhadap pembayaran digital tidak hanya membebani konsumen secara finansial, tetapi juga memengaruhi mereka dari perspektif psikologis.

Setelah mengalami insiden siber, 67 persen responden dari wilayah tersebut mengatakan bahwa mereka menjadi lebih waspada. Dan 32 persen  juga mencemaskan apakah mereka bisa mendapatkan kembali uang yang hilang.

“Adopsi metode pembayaran digital tampaknya menjadi pedang bermata dua, dengan kenyamanan dan manfaat besar yang diperoleh, risiko keamanan siber hadir menjadi aspek yang kurang diinginkan,” kata Sandra Lee, Managing Director untuk Asia Pasifik di Kaspersky dalam pernyataan tertulisnya, yang diterima VOI Rabu, 6 April.

Sebaliknya, Sandra Lee percaya bahwa mengkategorikan pembayaran digital dengan cara biner seperti itu masih terlalu dini. Seperti halnya teknologi, tidak ada definisi atau karakteristik baik atau buruk yang melekat padanya, sebaliknya, pemanfaatan teknologi untuk mencapai hasil yang bermanfaat ditentukan oleh bagaimana kita berinteraksi dengan mereka.

“Jika kita ingin sepenuhnya menyadari manfaat pembayaran digital, penting bagi semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, penyedia pembayaran digital, pengguna, dan bahkan perusahaan keamanan siber, bekerja sama dalam membangun ekosistem pembayaran yang stabil, aman, dan tangguh di masa depan.” sambungnya.

Dalam hal tindakan yang dilakukan setelah menghadapi ancaman, hampir 64 persen responden melakukan perubahan terhadap kata sandi dan pengaturan keamanan lainnya di aplikasi perbankan dan e-wallet mereka.

Selain itu, 50 persen responden menelepon bank atau perusahaan e-wallet terkait, dan 45 responden lainnya memberitahu anggota keluarga dan teman-teman mereka tentang insiden tersebut.

Perlindungan keamanan siber menjadi lebih diperhatikan oleh konsumen begitu mereka berhadapan dengan ancaman. Sebanyak 26 persen responden mengatakan mereka menginstal solusi keamanan pada perangkat yang terinfeksi. sementara 26 persen responden lainnya mengatakan mereka melakukannya terlepas dari apakah perangkat mereka terinfeksi atau tidak.

“Memulai baru dari awal” juga merupakan pilihan bagi 15 persen responden yang mengatakan bahwa mereka mengunduh e-wallet baru dan membuat akun baru hanya untuk keamanan.