JAKARTA – Mahkamah Agung Brasil pada Minggu, 20 Maret, mencabut perintah penangguhan penggunaan aplikasi perpesanan Telegram di negara itu. Menurut sebuah pernyataan di situs web pengadilan, ini dilakukan setelah Telegram mau memenuhi permintaan pengadilan untuk memblokir akun yang diduga menyebarkan disinformasi.
Pada Jumat 8 Maret, Hakim Agung Alexandre de Moraes memerintahkan penangguhan, dengan mengatakan Telegram telah berulang kali menolak untuk mematuhi perintah pengadilan untuk membekukan akun yang menyebarkan berita palsu atau mematuhi hukum negara.
Pendiri Telegram Pavel Durov menanggapi hal ini dengan meminta maaf atas "kelalaian" perusahaan dalam menjawab perintah pengadilan.
Presiden Brasil yang berasal dari kelompok sayap kanan, Jair Bolsonaro, dan para pendukungnya semakin mengandalkan Telegram sebagai bentuk komunikasi massa seperti perusahaan teknologi besar lainnya seperti Meta Platform Inc.,, yang memiliki aplikasi perpesanan WhatsApp, Google milik Alphabet Inc dan Twitter telah mematuhi perintah Mahkamah Agung untuk menghapus akun yang melanggar karena diduga menyebarkan disinformasi.
Moraes telah memberikan batas waktu hari Minggu bagi Telegram untuk mematuhi perintahnya, termasuk membekukan akun milik Allan dos Santos, seorang aktivis yang terkait dengan Bolsonaro.
BACA JUGA:
Dalam pernyataan Mahkamah Agung, Moraes mengatakan Telegram telah menunjukkan "kepatuhan penuh." "Saya mencabut keputusan penghentian total pengoperasian Telegram di Brasil," tambahnya.
Pengadilan juga menyebut jika Telegram telah menunjuk Alan Campos Elias Thomaz sebagai perwakilan hukumnya di Brasil, untuk memenuhi permintaan utama.
Langkah Moraes lebih lanjut memicu perdebatan tentang kebebasan berbicara di Brasil yang terpolarisasi secara politik dalam bab terakhir dalam pertempuran keadilan Perang Salib dengan Bolsonaro dan sekutunya.
Pengadilan juga telah memimpin serangkaian penyelidikan Mahkamah Agung terhadap Bolsonaro dan para pendukungnya karena menyebarkan berita palsu. Penyelidikan yang dilakukan itu telah membuat marah banyak pihak dari kelompok sayap kanan dan menimbulkan pertanyaan tentang penjangkauan yudisial.
Sementara Bolsonaro mengecam penangguhan itu sebagai "tidak dapat diterima."