Bagikan:

1 Mei 2025. Presiden Prabowo Subianto turun ke Monas. Ini bukan hari biasa. Ini hari langka. Sejak Sukarno, tak ada presiden yang hadir langsung merayakan Hari Buruh di jantung republik.

Prabowo Subianto naik podium. Tersenyum. Berpidato lantang. Janji demi janji diluncurkan. Hapus outsourcing. Bentuk Dewan Kesejahteraan Buruh. Satgas PHK. RUU PPRT disegerakan. Undang-undang Perampasan Aset didukung.

Dan satu kalimat retorik: “Saya mendukung Marsinah menjadi Pahlawan Nasional.”

Riuh. Tepuk tangan. Kamera menyorot. Media menulis. Sejarah seperti hidup kembali. Tapi benarkah hidup?

Marsinah diculik dan dibunuh pada Mei 1993. Disiksa. Ditemukan di hutan, tubuh lebam. Karena menuntut upah sesuai UMK.

Tiga puluh dua tahun berlalu. Hari ini, buruh masih menuntut hal yang sama: upah layak dan jaminan kerja.

Berdasarkan data BPS (Agustus 2024), rata-rata upah buruh hanya Rp3,27 juta per bulan. Bandingkan dengan harga rumah termurah di pinggiran kota. Atau harga beras yang menembus Rp15.000 – Rp 17.000 per kilogram. Tidak nyambung.

Di sisi lain, seperti diberitakan di berbagai media, 59,17 persen buruh di Indonesia adalah pekerja informal. Mereka tanpa kontrak. Tanpa BPJS. Tanpa perlindungan hukum. Outsourcing masih marak. Sistem borongan makin kejam.

Prabowo Subianto menjanjikan penghapusan sistem outsourcing. Tapi ini bukan pertama kali janji itu dikatakan. Tahun 2012, Presiden SBY sempat akan akan menkaji ulang Undang-undang yang mengatur soal outsourcing. Tak terjadi. Tahun 2019, Jokowi menjanjikan perlindungan buruh. Lahir UU Cipta Kerja yang justru memperluas outsourcing.

Kini, di tahun 2025, janji itu kembali diucapkan. Tapi angka berbicara lain. Media menulis ada 18.610 buruh di-PHK sejak awal 2025. Said Iqbal dari KSPI menyebut angka riil bisa mencapai 60 ribu.

Sementara itu, diambil dari keterangan resmi BPS, tahun 2024 lalu angka pengangguran mencapai 4,91 persen. Pemerintah mengklaim ingin membuka lapangan kerja. Tapi hingga kini, belum ada kebijakan konkret selain janji pertemuan buruh-pengusaha di Istana Bogor.

Marsinah kini jadi ikon. Poster. Spanduk. Kutipan. Tapi pertanyaannya: apakah penetapan sebagai Pahlawan Nasional akan mengubah nasib buruh?

Rasanya jawabannya adalah tidak. Marsinah tidak mati demi penghargaan. Ia mati demi upah. Demi kontrak kerja tetap. Demi hak mogok yang dilindungi undang-undang. Tapi hari ini, buruh masih takut demo. Masih diancam PHK.

Di sisi lain, pemerintah mempromosikan gagasan "buruh punya saham". Sekilas menarik. Tapi mari realistis: bagaimana mungkin buruh membeli saham jika makan saja susah?

Kondisi ekonomi 2025 juga tidak bersahabat. Daya beli lesu. Sementara kelas menengah rentan mulai tumbang, dan buruh tetap jadi bantalan.

Menteri Tenaga Kerja meminta agar Hari Buruh dijadikan momentum kolaborasi. Tapi kolaborasi seperti apa yang dimaksud?

Jika kolaborasi berarti menyamakan kepentingan buruh dan pengusaha, maka itu absurd. Pengusaha ingin efisiensi. Buruh ingin hidup layak. Kompromi yang sulit.

Di Monas, serikat buruh memuji Presiden Prabowo Subianto. Tapi di luar pagar, ribuan buruh masih turun ke jalan. Membawa spanduk. Teriak. Berpeluh. Tanpa kamera. Tanpa protokoler.

Juga ribuan pekerja digital seperti ojek online atau content creator masih masuk kategori buruh—tapi tak disebut dalam pidato kenegaraan.

Marsinah mungkin akan masuk buku sejarah. Patut diapresiasi. Tapi ribuan Marsinah baru mungkin masih mengisi halaman-halaman hidup yang dilupakan.