Bagikan:

JAKARTA – Upah riil yang rendah dan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi masih menjadi persoalan yang dihadapi kelas pekerja Indonesia di tengah perayaan May Day atau Hari Buruh Internasional.

Presiden Prabowo Subianto memang menepati janjinya dengan menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Monumen Nasional (Monas) Jakarta pada Kamis, 1 Mei 2025. Kedatangan Prabowo tentu saja disambut antusias oleh ribuan buruh yang hadir di Monas.

"Terima kasih atas kehormatan yang diberikan kepada saya. Saya diundang hadir bersamamu, ini adalah kehormatan besar bagi saya. Terima kasih, terima kasih," ujar Presiden Prabowo Subianto.

Dalam orasinya, Prabowo menyebutkan sejumlah janji, di antaranya membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, menghapus outsourcing, dan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Mitigasi PHK.

Salah seorang peserta peringatan Hari Buruh Internasional 2025 di Monas, Jakarta, Kamis 1 Mei, berlari sambil membawa bendera Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). (VOI/Karisa Aurelia Tukan)bil

Namun peringatan Hari Buruh bukan sekadar seremonial semata. Ada setumpuk masalah yang dihadapi kelas pekerja Indonesia, padahal merekalah yang menjadi roda ekonomi negara. 

Upah Riil Rendah, PHK Tinggi

Di tengah peringatan Hari Buruh Internasional, para kelas pekerja di Indonesia tengah menghadapi sejumlah masalah pelik. Di antaranya penurunan upah, angka PHK tinggi, serta maraknya pengangguran di usia muda.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira membeberkan sejumlah permasalahan yang dihadapi kelas pekerja atau buruh.

Menurutnya, upah riil mengalami penurunan tajam dan pertumbuhannya lebih rendah dibanding pra-pandemi. Penurunan upah tersebut, kata Bhima, disebabkan karena masalah dalam formulasi upah yang tercantum dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

“Penyebab utama karena formulasi upah dalam UU Cipta Kerja terlalu rendah dibandingkan kenaikan pengeluaran yang ditanggung,” ujar Bhima kepada VOI.

Peserta perayaan Hari Buruh Internasional 2025 di Monas, Jakarta, Kamis 1 Mei menganakan kaus May Day. (VOI/Karisa Aurelia Tukan)

Artinya, buruh harus bertahan hidup dengan berhemat, meminjam uang atau menggadaikan asetnya seperti rumah, kendaraan bermotor, dan lainnya. Upah riil yang terlalu rendah juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat.

Masalah diskriminasi usia dalam dunia kerja juga ikut menjadi sorotan. Ia mencontohkan persyaratan batas usia pelamar antara 25 sampai 31 tahun sehingga menyebabkan para korban PHK kesulitan untuk kembali bekerja di sektor formal. Padahal, banyak korban PHK berusia di atas 30 tahun.

Regulasi di Indonesia juga dianggap membiarkan perusahaan melakukan diskriminasi, berbeda dengan negara ASEAN seperti Thailand dan Vietnam yang menerapkan peraturan anti-diskriminasi usia pelamar kerja.

“Harapannya revisi UU Ketenagakerjaan dapat mengakomodir pasal spesifik soal anti-diskriminasi usia pelamar kerja,” tutur dia.

Sejumlah buruh mengikuti aksi peringatan Hari Buruh Internasional di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025). (ANTARA/Fauzan/foc)

Bhima juga menyebut Indonesia memiliki jumlah pengangguran di usia muda, yaitu rentang usia 15 sampai 24 tahun. Jumlahnya sebanyak 17,3 persen dari total jumlah pengangguran di Indonesia dan menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Sementara angkatan kerja baru bertambah 4,4 juga orang sepanjang 2024 dan harus bersaing dengan pekerja yang di-PHK. Keberadaan Danantara juga dinilai belum terlihat mampu memecahkan masalah sempitnya lapangan kerja di sektor formal.

"Persaingan tenaga kerja makin ketat dan belum ada solusi riil dari pemerintah. Belum ada paket kebijakan yang dikeluarkan untuk meredam gejolak PHK. Sementara Satgas PHK tidak bersifat preventif,” Bhima menjelaskan.

Buruh adalah Investasi

Badai PHK yang terjadi di Indonesia diperparah dengan banyaknya perusahaan yang tidak membayar pesangon dan sisa gaji para karyawan. Lemahnya pendataan tenaga kerja dan penegakan sanksi bagi bagi perusahaan menjadi penyebabnya.

Dengan adanya Satgas PHK, mereka diharapkan melakukan pendataan para korban PHK baik di sektor formal dan informal secara akurat. Data ini dapat dijadikan landasan untuk pemenuhan hak korban PHK.

Selain itu, sejumlah perusahaan juga melakukan PHK demi mengganti karyawan tetap dengan pekerja magang, outsourcing, dan kontrak. Meski beralasan untuk menekan biaya operasional, namun kata Bhima hal ini bagian dari upaya perusahaan menghindari tanggung jawab hak pekerja tetap.

"Situasi ini juga mengkonfirmasi bahwa perekonomian sedang memburuk sehingga perusahaan terus menurunkan jumlah pekerja tetapnya.

Dua orang pengemudi ojek online berbincang di Jalan Thamrin, Jakarta, Senin (17/2/2020). (ANTARA/M Risyal Hidayat/aww/aa)

Mereka yang terkena PHK beralih terlibat di sektor informal gig-economy seperti ojek online dan kurir karena terbatasnya lapangan kerja di sektor formal. Sekitar 58 persen pekerjaan di Indonesia adalah sektor informal, menimbulkan kerentanan kerja, tidak adanya jenjang karier dan jam kerja yang terlalu tinggi.

“Persaingan tenaga kerja makin ketat dan belum ada solusi riil dari pemerintah,” terangnya.

Di sisi lain, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini menyebut buruh bukan sekadar roda penggerak ekonomi, tetapi subjek utama pembangunan nasional.

Karena itulah, peringatan Hari Buruh harus menjadi ajang meneguhkan komitmen kolektif untuk menciptakan ekosistem kerja yang produktif sekaligus manusiawi.

"Produktivitas tidak boleh hanya dinilai dari output. Ia harus lahir dari proses kerja yang sehat, adil, dan memanusiakan pekerja," terang Didik.

Dalam kesempatan yang sama, Didik menyoroti banyaknya pekerja yang belum menikmati hak-hak mereka secara penuh, di antaranya upah yang layak, perlindungan hukum, dan kepastian kerja.

Padahal, perlindungan terhadap buruh bukan sekadar kewajiban moral, tetapi strategi jangka panjang bagi stabilitas dan keberlanjutan usaha.

"Perlindungan bukan beban, tapi investasi. Investasi yang menciptakan loyalitas, stabilitas, dan semangat kerja," kata Didik.

Didik menegaskan, tidak ada pembangunan ekonomi yang berhasil tanpa buruh yang sejahtera. "Jika buruh sejahtera, maka hampir seluruh rakyat sejahtera, dan jika rakyat sejahtera, bangsa akan maju,” tandasnya.