Internet adalah ruang terbuka, tempat siapa pun bisa berbicara. Namun, di balik kebebasan itu, etika sering kali diabaikan. Salah satu contoh nyata adalah kasus akun misterius bernama Fufufafa. Akun ini mendadak viral karena banyak menghujat Prabowo Subianto saat maju sebagai calon presiden melawan Joko Widodo. Namun, yang lebih mengejutkan, akun ini juga diduga terkait dengan Gibran Rakabuming Raka, putra presiden yang kini wakil presiden terpilih mendampingi Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih. Spekulasi dan tuduhan beredar luas, tetapi di tengah semua itu, etika dalam bermedia sosial seolah terlupakan.
Kisah Fufufafa dimulai ketika akun ini muncul di Kaskus, kemudian menyebar ke berbagai platform media sosial dan media massa pun memberitakannya. Akun ini diduga terkait dengan nomor telepon yang terdaftar dalam berkas Pilkada Solo atas nama Gibran. Lebih mengejutkan, email yang terhubung dengan akun ini ditemukan di situs-situs dewasa, memperkeruh situasi. Belum selesai di situ, netizen yang iseng mengisi saldo Gopay akun Fufufafa menemukan nama Gibran Rakabuming Raka. Namun, belakangan nama di akun tersebut berubah menjadi "Slamet". Dalam semua kegaduhan ini, satu hal yang sering terpinggirkan: literasi dan etika digital.
Media sosial memang memberi kebebasan berekspresi, tapi kebebasan ini kerap disalahgunakan. Spekulasi liar dan tuduhan tanpa bukti menjadi makanan sehari-hari. Kasus Gibran menunjukkan betapa mudahnya kita terjebak dalam opini tak berdasar. Literasi digital yang rendah membuat situasi semakin parah. Padahal, etika dalam bermedia sosial bukan sekadar sopan santun, tapi dasar interaksi di dunia maya.
Ketika netizen melontarkan tuduhan atau penghinaan, mereka sering lupa bahwa tindakan itu bisa membawa konsekuensi nyata. Salah satu bentuk serangan yang paling sering terjadi di media sosial adalah body shaming. Ini bukan sekadar candaan. Dampak body shaming bisa menghancurkan mental seseorang, bahkan memicu depresi.
Dalam kasus Fufufafa, meski isu yang diangkat lebih banyak soal identitas digital, serangan terhadap fisik dan karakter seseorang tetap terjadi. Komentar negatif dilontarkan tanpa pikir panjang, tanpa memikirkan dampak jangka panjang bagi korban. Setiap kata, baik berupa hinaan atau tuduhan, dapat merusak reputasi secara permanen.
Ironisnya, di tengah hiruk-pikuk ini, banyak yang lupa bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab. Tuduhan atau hinaan sembarangan tidak hanya merugikan pihak yang dituju, tetapi juga memperburuk suasana di media sosial. Literasi digital yang rendah hanya memperkuat kecenderungan ini, dan inilah yang perlu kita benahi.
Kasus Fufufafa adalah contoh betapa bahayanya spekulasi di dunia maya. Tuduhan tanpa bukti, karena dikaitkan dengan Gibran, tidak hanya mencoreng namanya, tetapi juga menyoroti lemahnya etika bermedia sosial di kalangan masyarakat kita. Setiap orang punya hak untuk berekspresi, tapi setiap hak juga datang dengan tanggung jawab. Kita harus memilih: menggunakan kebebasan untuk membangun, atau merusak.
BACA JUGA:
Lebih jauh lagi, masalah seperti body shaming dan bullying online sering diabaikan. Padahal, dampaknya sangat nyata. Setiap orang berhak atas harga diri dan martabatnya, tanpa harus dihina atau direndahkan karena penampilan fisiknya. Komentar negatif yang terlihat sepele bisa menghancurkan mental dan psikologis seseorang.
Pemerintah dan platform media sosial perlu lebih tegas menegakkan aturan tentang perilaku di dunia maya. Meski sudah ada hukum yang mengatur pelanggaran seperti body shaming, pendekatan preventif melalui edukasi etika bermedia sosial di sekolah dan kampus sangat diperlukan. Generasi muda perlu lebih sadar akan dampak dari setiap tindakan mereka di dunia maya.
Pada akhirnya, kasus Fufufafa mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi dan memberikan komentar. Media sosial memang memberi kebebasan, tetapi kebebasan itu harus digunakan dengan bijak. Literasi digital dan etika harus menjadi dasar dari setiap interaksi di dunia maya.
Tantangan terbesar kita ke depan adalah membangun ekosistem digital yang lebih sehat. Di mana setiap orang memahami tanggung jawab dari setiap kata yang mereka tulis. Jangan sampai, seperti Fufufafa, sebuah kontroversi yang tidak jelas asal-usulnya menghancurkan reputasi seseorang.
Kini, keputusan ada di tangan kita: apakah kita ingin menjadi bagian dari solusi atau malah memperkeruh suasana?