Bulan Juni ini Jakarta berulang tahun yang ke-495. Secara kasat mata, Jakarta sebagai kota megapolitan tidak kalah dengan kota-kota besar lain di belahan dunia. Gedung pencakar langit, moda transportasi modern, pusat olahraga termasuk Jakarta International Stadium (JIS) yang dibanggakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan penduduk yang terlihat sibuk.
Sebagai ibu kota negara, Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi. Seperti banyak dimuat media, Jakarta berkontribusi terhadap 70 persen perputaran uang nasional. Tahun 2020 menurut Badan Pusat Statistik DKI Jakarta jumlah penduduk Jakarta mencapai 10.562.088 jiwa dengan jumlah kendaraan mencapai 20.221.821. Sementara luas DKI Jakarta 664,01 kilometer persegi. Dengan begitu banyak penduduk dan jumlah kendaraan, tidak heran jika Jakarta dikenal dengan kemacetannya.
Tahun ini di Ulang Tahun ke-495 Jakarta sebagai ibu kota masih belum bisa lepas dari persoalan macet dan banjir. Program pemerintah provinsi untuk mencegah banjir seperti membangun dan merehabilitasi polder, waduk serta sungai belum terlihat signifikan mencegah banjir. Begitu juga program mencegah kemacetan seperti membangun transportasi publik dan mendorong warga menggunakannya. Termasuk pembangunan jalan layang dan penerapan ganjil genap. Memang membantu tapi juga tidak siginifikan..
Ironinya jelang HUT ke-495 Jakarta justru mendapat kado istimewa. Kualitas udara Jakarta menjadi yang terburuk. Lembaga data kualitas udara, IQ Air pada pertengahan Juni 2022 menempatkan kualitas udara Jakarta pada posisi pertama sebagai kota dengan kualitas terburuk.
Kualitas udara di Jakarta mencapai indeks 160 menurut lembaga data kualitas udara, IQ Air seperti dimuat voi. Sementara indeks kualitas udara berdasarkan standar Amerika Serikat (AQ AS) menggolongkan indeks 151 hingga 200 merupakan kategori udara yang tidak sehat.
Konsentrasi "particulate matter" (PM) 2.5 mencapai 14,6 kali lipat di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Untuk diketahui PM 2.5 merupakan polutan pencemar udara yang paling kecil dan berbahaya bagi kesehatan tubuh. Bisa menyebabkan gangguan infeksi saluran pernafasan dan paru-paru dalam jangka waktu panjang. Jika menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardivaskular seperti penyakit jatung koroner kata Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko dalam keterangan tertulis pada media.
Menurut analisa BMKG, tidak sehatnya udara di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi baik yang berasal dari sumber lokal, seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta sendiri bukan tidak melakukan upaya. Gubernur DKI Jakarta bahkan telah menggagas program Jakarta Langit Biru sebagai upaya perbaikan kualitas udara. Program ini tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Juga tidak segan memberikan sanksi pada perusahaan pelaku pencemaran. Namun semua kebijakan tersebut belum sepenuhnya berhasil.
Anies Baswedan sendiri memandang sumber polusi udara di Jakarta bukan hanya berasal dari kawasan ibu kota sendiri, melainkan juga di daerah penyangga. Begitu pula dengan pencemaran udara di Jakarta yang juga akan menyebar ke daerah luar.
Memang membenahi Jakarta tidak bisa hanya dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Harus melibatkan kota-kota satelit di sekeliling Jakarta. Jabodetabek atau Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi harus terintegral.
Tapi, apapun alasannya Pemprov DKI memang harus mencari formulasi yang tepat agar kualitas udara di Jakarta membaik. Pembatasan kendaraan ganjil genap, selain mengurangi kemacetan juga untuk mengurangi polusi udara. Termasuk pergub yang dikeluarkan. Tapi sepertinya itu tidak cukup.
Mungkin publik masih ingat, saat pandemi-COVID-19 lagi parah-parahnya dan pembatasan dilakukan secara ketat, udara di Jakarta mendadak cerah.
Mungkin salah satu yang perlu dipikirkan bagaimana agar langkah Pemprov DKI Jakarta untuk mengurangi kendaraan pribadi berhasil memaksa masyarakat untuk menggunakan transportasi publik. Jika mau ekstrem, jika sekarang pembatasan ganjil genap hanya untuk 26 ruas jalan mungkin bisa diperluas. Soal emisi kendaraan bermotor benar-benar dijalankan secara tegas. Karena salah satu sumber polusi yang cukup besar berasal dari asap kendaraan bermotor. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah memperbanyak paru-paru kota. Ruang terbuka hijau mesti ditambah.
Mengutip dari situs jakarta.go.id, DKI Jakarta memiliki kawasan hutan lindung seluas 44,76 hektare berupa hutan payau/bakau, hutan konservasi mencapai 227,34 hektare dan Taman Nasional Kepulauan Seribu seluas 108.039,50 hentare, serta hutan kota seluas 181,28 hektare yang tersebar di 69 lokasi per 2015.
Dengan anggaran APBD mencapai lebih dari Rp82 triliun, rasanya tidak berat bagi Pemprov DKI untuk menambah hutan kota.
Hutan kota bukan hanya menjadi paru-paru kota tapi juga berfungsi sebagai ruang terbuka hijau. Tempat masyarakat melakukan interaksi. Tempat masyarakat berkumpul, berolahraga dan rekreasi. Seperti slogan Anies Baswedan saat kampenye pilgub, Maju Kotanya, Bahagia Warganya.