Bagikan:

JAKARTA - PON XXI Aceh-Sumatera Utara 2024 menuai sorotan. Sejumlah masalah muncul, mulai dari konsumsi yang tak sesuai, venue yang belum rampung, hingga kegagalan antisipasi cuaca ekstrem.

Kondisi itu kian mempertegas bahwa pergelaran PON yang menjadi tanggung jawab daerah tuan rumah bersama KONI Pusat masih melahirkan cela.

"PON 2024 ada ada 65 cabor olaharaga resmi, dan 11 ekshibisi. Total ada 76 cabor, berarti ada 76 venue. Bukan saya membela diri, jika ada satu sampai lima venue memang tidak sempurna, harap maklum."

"Namun, kami tanggung jawab dan tindak tegas agar venue rampung dan bisa gunakan," ujar Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, beberapa waktu lalu dalam rapat dengan Komisi X DPR RI.

Tak heran, Menpora meminta ada evaluasi komprehensif terkait perhelatan PON agar bisa dipertanggungjawabkan.

Selama ini, Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemenpora kesulitan terlibat mengingat porsi kewenangan berada di tangan KONI Pusat dan PB PON. Alhasil, segala bentuk intervensi ketika terjadi kendala di PON tak bisa langsung dilakukan.

Masalahnya, KONI Pusat dan Pemerintah Daerah yang ditunjuk tuan rumah (PB PON) kerap abai dalam memastikan penyelenggaraan PON berjalan baik dan lancar.

Pada PON 2024 ini misalnya, isu korupsi sudah mencuat, bahkan sebelum pembukaan resmi.

Konsumsi basi, makanan yang tidak sesuai standar, venue yang belum siap, hingga rencana cadangan mengatasi faktor alam menjadi pemicu isu tersebut.

Karena itu, Menpora ingin penyelenggaraan PON ke depan punya porsi kewenangan yang lebih jelas agar masalah-masalah bisa diminimalisasi.

"Kami berharap terkait PON harus ada evaluasi yang komprehensif. PON diatur Undang-Undang. Saya rasa harus secara saksama membahas ke depan agar porsi lebih pasti dan kewenangan lebih bisa dipertanggungjawabkan."

"Contoh kecil, pada penentuan tuan rumah, Pemerintah Pusat tidak terlibat. Itu proses internal KONI Pusat. Ini menjadi kenyataan pahit memang. Saya tidak ingin ke depan PON menjadi suatu hal tidak produktif," kata Menpora.

Selain soal penyelenggaraan, selama ini venue-venue yang digunakan PON banyak terbengkalai selepas perhelatan.

Artinya, Pemerintah Daerah pun abai dalam menjamin aset PON. PON cuma ibarat gengsi daerah dan proyek besar pembangunan venue olahraga dengan uang negara.

Masalah itu juga menjadi perhatian Menpora yang menginginkan keberlanjutan terhadap venue PON.

"Bisa dilihat ke belakang, berapa venue PON yang bisa dimanfaatkan dengan baik. Kalimantan Timur dan Riau sangat menyedihkan.

"Jakabaring (Sumatera Selatan) masih bertahan, tapi Pemerintah Sumsel sering curhat ke kami."

"Jawa Barat termasuk kategori lumayan aman, tapi tidak semuanya. Nah, Papua juga ke depan harus ada tindakan konkret memastikan keberlangsungan venue PON di sana," tutur Dito Ariotedjo.

Memberikan porsi kewenangan kepada Pemerintah Pusat, menurut Menpora, bisa menjadi solusi masalah PON yang selama ini dalam pembiaran.

"Semoga PON ke depan lebih baik. Untuk tuan rumah selanjutnya lebih baik. Kami akan pastikan proyeksi keberlanjutnannya."

"Jika tidak potensi keberlanjutannya, terima fakta pindah lokasi tuan rumah atau kurangi cabor."

"Itu kewenangan yang tidak kami miliki. Jadi, harus duduk bersama, Pemerintah, KONI, dan legislatif bicara seperti apa ke depan. Jangan sampai setiap perhelatan PON jadi malapetaka di kemudian hari," ujar Dito Ariotedjo.