Bagikan:

JAKARTA - Tahun 1990-an adalah era menakjubkan untuk kreasi artistik. Suatu momen dalam sejarah ketika sosok yang merasa tidak diperhitungkan muncul sebagai pemenang dan menghancurkan monolit budaya yang sebelumnya mendominasi. 

Dengan perubahan tren yang terjadi di musik dan film secara bersamaan, peluang untuk sukses di luar arus utama tumbuh. Baik Nirvana maupun Quentin Tarantino mempelopori fajar baru yang menarik, membentuk Gen X dalam cetakan baru mereka.

Vokalis Nirvana, Kurt Cobain, bahkan diperkirakan akan muncul dalam film Pulp Fiction rilisan tahun 1994 milik Tarantino, yang sayangnya tidak pernah membuahkan hasil. Namun, hubungan antara dua raksasa bioskop dan musik itu tidak berakhir. 

Far Out Magazine menyebut, mungkin, tidak ada persilangan budaya pop tahun 1990-an yang lebih signifikan dari yang satu ini. Tak terbantahkan, Cobain adalah seorang revolusioner musik grunge yang menebas kemapanan band-band hair metal. Sementara itu, Tarantino melanggar semua aturan dan juga menata ulang industri film.

Dekade tersebut merupakan reaksi yang keras terhadap hari-hari konsumerisme massal, sesuatu yang ditekankan oleh Reaganisme pada dekade sebelumnya. Semua orang menginginkan lebih dan lebih, dengan komersialisasi steroid sepanjang 1980-an. 

Orang-orang menginginkan sesuatu yang tidak dapat dibeli dengan uang ketika mereka tiba di tahun 90-an, dan kemunculan kembali etos DIY (Do It Yourself) adalah tonik yang menyegarkan yang membuat hati kembali ke kesadaran publik.

Cobain siap untuk melangkah dan membawa beberapa keaslian ke dalam genre alternative rock. Sementara itu, di Indiewood (pelesetan dari Hollywood versi indie), Tarantino muda juga melakukan hal yang sama — membuat film yang secara visual memukau dan naratif menawan untuk generasi baru. 

Vokalis Nirvana itu terkesan oleh kehebatan Tarantino hingga dia bahkan berterima kasih kepadanya di album In Utero rilisan 1993, meski keduanya tidak pernah bertemu. Ya, album raksasa grunge itu merupakan album penuh terakhir Kurt Cobain semasa hidup.

Tarantino kemudian berbicara secara rinci tentang bagaimana dua fenomena budaya pop itu selaras. Dia mengatakan kepada stasiun radio Australia Double J: “Ada aspek sinema independen Amerika secara umum, dan film saya, Reservoir Dogs, secara khusus, bertepatan dengan (geliat) musik grunge. Kami berada di jalur paralel. Kami sedang melakukan cara baru untuk membuat film.

“Orang-orang sudah muak dengan film-film Hollywood yang berkorporatisasi di tahun 80-an dan sama dengan musik korporat di era 80-an untuk musik,” jelas Tarantino. 

“Satu hal yang menarik dari Reservoir Dogs, bagian dari ironisnya, adalah bahwa kami memainkan lagu-lagu pop tahun 70-an yang tidak berbahaya ini dengan kisah kejahatan yang penuh kekerasan ini,” ujar sutradara, yang menggambarkan salah satu poin plot asli dari film tersebut.

“Salah satu hal yang sangat menarik tanpa saya mencoba melakukan ini sama sekali, band grunge Seattle saat itu menyukai Reservoir Dogs,” kenang Tarantino, dengan senyuman di wajahnya. 

“Pada dasarnya, menurut saya itu adalah (ibarat) film 'wisata' yang bagus, Anda dapat memasang videonya, dan Anda dapat memutarnya sepanjang waktu, dan semua orang tahu dialognya.”

Tarantino kemudian mengungkapkan, “Pearl Jam menyukai film tersebut, Nirvana menyukai film tersebut, dan Kurt Cobain sangat menyukai film tersebut sehingga dia berterima kasih kepada saya di album keduanya (yang benar adalah album ketiga, red). Dalam In Utero, saya ada di daftar terima kasih, dan saya tidak pernah bertemu dengannya. Dia sangat mencintai Reservoir Dogs sehingga dia berterima kasih pada saya melalui  daftar terima kasihnya. "

Terlepas dari kesalahan Tarantino memberi label In Utero sebagai album kedua band Seattle itu, terlihat jelas bahwa ada rasa hormat yang dalam terhadap apa yang berhasil dilakukan Cobain di industri musik dan bagaimana dia dengan paksa mengubah estetika masyarakat, seperti yang dilakukan Reservoir Dogs.