Bagikan:

JAKARTA - Vintage, kesan pertama ini muncul pertama kali mendengar musik Bilal Indrajaya di lagu Niscaya, yang kala itu ramai berseliweran di media sosial. Berbeda dari David Bayu yang punya timbre vokal ringan dan trebel oriented, Bilal punya suara deep yang jadi karakter.

Album 'Nelangsa Pasar Turi' merupakan album penuh pertama Bilal sebagai penyanyi tunggal. Di sini ia bekerja sama dengan para produser yang memang dikenal punya intuisi kuat di musik-musik lawas. Mereka adalah Lafa Pratomo, Vega Antares, Kurosuke, dan Laleilmanino.

Melibatkan banyak produser bisa jadi pisau bermata dua. Di satu sisi kolektivitas ini akan menghasilkan sesuatu yang vibrant, tapi di sisi lain berpotensi menimbulkan album yang 'belang'. Untungnya hal itu tak terjadi di album perdana Bilal ini.

Album dibuka oleh 'Juanda', trek enerjik yang bisa jadi mengecoh para pendengar. Lagu ini mengusung musik rock yang enerjik, dengan distorsi dan riff gitar yang berkarakter. Trek ini pun jadi lagu paling upbeat di seluruh isi album. 

Bilal seperti memberi tribut pada band favoritnya, Dewa 19 di trek ini. Terdapat petikan lirik 'Aku di sini untukmu' dan 'Kamulah satu-satunya', yang plek-ketiplek judul lagu mereka. Unsur 'Dewa'lainnya tentu juga karena keterlibatan Vega, gitaris yang sudah lama manggung bareng Dewa 19.

Bilal Indrajaya mengeksplor kemampuan vokalnya lebih jauh di album ini. Di lagu 'Bermuda' contohnya, ia memainkan dinamika vokal, seolah bermain peran. Bahkan ia memberi cengkok manis di puncak lagu menuju akhir, yang ternyata berhasil jadi hook yang kuat.

Nada-nada tinggi terdapat di trek 'Dara', yang jadi pertemuan musik era lawas dan modern. Bilal menerapkan falsetto dengan mulus, meski tentu saja akan menantang saat dibawakan secara live. Lagu ini dicipakan keyboardis Maliq & d'Essentials Ilman Ibrahim Isa, yang juga berlaku sebagai produser bersama Kurosuke.

Ciri khas Bilal yang gemar membuat judul yang tak disebut di lagu terjadi juga di album ini. Selain single 'Nelangsa Pasar Turi', judul yang cukup unik adalah 'Sembilan Jam Dari Gambir'. Trek ini dipoles Lafa Pratomo dengan ciamik, membuat pendengar seperti di awang-awang. Beat yang agak keluar pakem, dihias dengan melodi-melodi ornamental piano dan gitar. Mungkin ini salah satu lagu favorit saya di album ini, selain 'Dara'.

Di berbagai kesempatan, Bilal Indrajaya mengatakan lagu ini adalah tentang perjalan, pertemuan dan perpisahan. Ia mengenang masa lalunya mengunjungi tempat-tempat yang ia sebut, dari Gambir, Pasar Turi hingga Juanda. Terminal dan bandara jadi saksi bahagianya perjumpaan, tapi juga melepas kepergian.

Patut diapresiasi bagaimana Bilal bisa menyisipkan unsur-unsur The Beatles, Dewa 19, Candra Darusman secara seamless dalam 9 trek di dalamnya. Dan cover album yang mengingatkan video musik 'Walk' milik Foo Fighters, menambah keragaman referensi di album ini.