Bagikan:

JAKARTA - Terapi musik sebagai salah satu upaya pengobatan sudah berkembang pada pertengahan abad ke-20. Sejak tahun 1950, bermunculan asosiasi terapi musik di banyak negara maju.

Namun, terapi musik di Indonesia nampaknya belum mendapat perhatian. Bahkan, istilah tersebut masih asing di telinga banyak orang.

Kezia Karnila Putri, salah satu pengajar terapi musik di Conservatory of Music Universitas Pelita Harapan mengatakan, jumlah terapis yang masih minim di Indonesia menjadi alasan mengapa terapi musik masih belum dikenal masyarakat.

“Yang pasti sih kita secara pasukan, secara SDM jauh lebih sedikit. Kalau di luar negeri tuh udah banyak banget SDM-nya, jadi advokasi untuk kerja lapangan terapi musik itu lebih luas dan lebih tinggi di sana,” kata Kezia Karnila Putri saat ditemui di Karawaci, Tangerang, pekan lalu.

Sertifikasi bagi terapis musik sendiri masih belum jelas di Indonesia. Tidak hanya itu, Asosiasi Terapi Musik Indonesia saja baru didirikan tahun ini.

“Kalau sertifikasi terapis musik di Indonesia belum ada. Jadi, memang asosiasi terapi musik aja baru berdiri awal tahun ini,” ujar Kezia.

Dipimpin oleh Kezia sendiri, Asosiasi Terapi Musik Indonesia disebut tengah mengerjakan banyak hal agar praktik terapi musik di Indonesia bisa semakin baik secara kuantitas maupun kualitas.

Dengan apa yang dikerjakan saat ini, Kezia berharap ada sertifikasi bagi terapis musik di Indonesia.

“Di situ kita mengerjakan kode etik berpraktik, membership dan lain-lain. Mudah-mudahan sih dalam waktu dekat kita bisa mengeluarkan sertifikasi. Tapi tentunya itu panjang ya prosesnya,” pungkas Kezia Karnila Putri.